Pertemuan dengan Tan Malaka, Presiden Indonesia

Tan Malaka
Sumber: maliqmaliq.wordpress.com

Tan Malaka memakai topi bundar khas yang sering dipakainya serta hanya bercelana pendek.  Ia tengah menuju Istana Merdeka setelah seminggu berada di Bayah, Banten untuk melihat dan mengingat kembali jazad para Romusha yang ditelantarkan Jepang. Tan berada dalam  KLB (Kereta Luar Biasa) sehingga tidak perlu repot mengatur lalu lintas. Polisi hanya tinggal mengawasi perlintasan kereta api saja, mana tahu ada yang mencoba bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke KLB.

Di KLB itu Tan Malaka tidak sendiri. Ada ribuan orang, Tan Malaka dengan konsep Marxis-nya tentu tidak mau menikmati sendiri jabatan presidennya. Ia seperti sosialis, yang seperti Sutan Sjahrir ingin berbagi dengan siapa saja, bahkan yang dinamakan kursi untuk Tan sebenarnya tidak ada. Satu-satunya kursi di KLB itu hanya untuk masinis kereta. Tan berkata,” Kekuasaan ini milik rakyat, bahkan kereta dan celana dalam saya dibeli dengan uang rakyat, lalu mengapa pula saya tidak mau berbagi dengan mereka”. Tapi tentu tidak semua orang setuju dengan analogi Tan tersebut.

Tan bertanya, “Apa tidak ada kursi lain Pak Masinis yang terhormat?  Masinis dengan penuh takzim menggeleng, Tan pun paham bahwa walau ia sebagai presiden terpilih harus rela untuk berdiri. Untunglah Tan tidak mengeluh, bahkan ia bersemangat sekali, mungkin membayangkan jabatan presiden yang selama ini tidak diinginkannya, mungkin juga karena negeri yang sedari muda diperjuangkannya, akhirnya bisa juga ia bawa ke arah yang dicitakannya.

Pemandangan seorang presiden yang berdiri di antara sesak penumpang kereta tentu sebuah pemandangan luar biasa.  Tan memang berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Tan seperti memaknai apa yang dikatakan oleh ayahnya.

” Tan, ingatlah  bahwa penguasa sebenarnya pelayan yang melayani keinginan rakyatnya. Upahnya bukan uang semata, tapi surga yang maha lapang untuknya, kelak nanti hidup setelah  mati”.

Tan hampir saja meneteskan air mata mengingat hal itu, karena penguasa sebelumnya suka berfoya-foya di atas derita rakyatnya. Ada yang membesarkan partainya saja, ada pula yang melulu bimbang tapi pintar sekali mencipta. Tan sungguh kecewa, mengapa para penguasa sebelumnya tidak puas-puasnya berkuasa.

Tan ingat, sebuah percakapan sebelum ia terpilih dengan penguasa yang suka bermain gitar dan mencipta lagu itu.

“Kalaulah Saudara berani bertindak tegas sebagai penguasa, saya akan mundur dari pencalonan ini”, ujarnya. Saya mengerti sekali posisi Saudara, tapi mengapa Saudara tidak bisa berkata apa adanya?, sungut Tan. Penguasa itu diam saja. Akhirnya Tan memutuskan maju di pemilu yang akhirnya menjadikannya presiden Indonesia, entah presiden yang ke berapa.

Selagi enak-enaknya di KLB, beberapa calon menteri yang dijagokan Tan untuk mengisi departemen yang penting berbisik-bisik. Ada beberapa calon  menteri Tan yang suka nyeletuk soal gaya kepresidenan Tan ini. Tentu tidak jauh-jauh, Soekarno yang menjabat menteri salah satu departemen yang penting, yaitu Departmen Anti Kapitalis.

Soekarno dengan gaya necis serta peci hitamnya tentu jengah dengan KLB yang panas dan reot itu. Menurutnya tidak layak seorang presiden naik KLB yang sesak itu dan tanpa kursi lagi. Selain bisa capek karena juga harus mengurus negara, menteri pun juga capek karena juga harus ikutan berdiri.
“Yang Mulia Presiden, mengapa kita memaksakan diri berdiri di KLB yang reot ini?”, tanya Soekarno yang sudah tak tahan panasnya di dalam kereta.

Tan tersenyum saja dengan pertanyaan  Soekarno itu, ia malah menyuruh Soekarno untuk duduk di kursi satu-satunya.

“Saudara Soekarno, kalau saudara mau duduk di depan sini ada kursi, silahkan kata, Tan sedikit mengejek calon menterinya itu. Itu artinya Soekarno harus jadi masinis jika ingin duduk dan tentu saja dengan segala hormat Soekarno menampiknya.

Perjalanan dari Bayah menuju Istana Merdeka dengan memakai KLB itu sangat mengasyikkan. Semua tempat yang dilalui Tan tidak ada yang macet. Di setiap stasiun KLB berhenti, penumpang keluar masuk, tidak peduli bahwa di KLB itu ada seorang presiden.  Tan Malakan benar-benar senang karena tidak ada rakyatnya yang mengeluh usahanya harus terbengkalai, jalanan macet atau pengemis harus dikurung sementara waktu karena ia sedang menggunakan jasa KLB.

Tan Malaka lebih senang lagi setelah meneriman laporan menteri urusan sosialisme, Sutan Sjahrir.
“Tuan presiden yang terhormat, hamba baru saja menerima laporan bahwa para pengemis ingin menyumbangkan duit yang sedikit milik mereka untuk memperbaiki KLB yang sedikit reot ini”, lapor Sjahrir. “Para pengemis  sedih sekali jika Tan harus berdiri bersama penumpang yang lain, dan mereka takut kalau ada orang yang tidak senang dengan kebijakan Tan akan dengan mudah menggorok leher Tan karena Tan tidak dikawal”.

Tetapi Tan menampik tawaran itu, ia mengatakan ia lebih baik mati di KLB ini daripada bikin rakyat  susah.
Setelah hampir empat jam dalam perjalanan, Tan bersama rombongan akhirnya sampai juga di Istana Merdeka. KLB di parkir di dekat stasiun Pasar Baru, Tan turun bersama menterinya. Karena jarak yang tidak begitu jauh menurut Tan (ia biasa berjalan kaki 4 jam menuju perpustakaan sewaktu membuat Madilog), Tan akhirnya jalan kaki saja menuju istana.

Menteri yang sudah disediakan masing-masing satu oplet akhirnya tidak memakai oplet itu karena Tan memilih jalan kaki. Alasan Tan adalah untuk kesehatan dan mengurangi polusi. Ini terkait nantinya dengan pembicaraan Tan tentang bagaimana membuat Indonesia yang lebih hijau dan bebas polusi dengan Perdana Menteri Rusia yang baru yaitu Anatoly Karpov.

Di sepanjang jalan menuju istana Tan tidak melihat satu pun polisi yang mengawalnya, tidak juga rakyatnya yang melambai-lambaikan bendera atau foto Tan. Para menteri pun hilang satu-satu menuju rumah masing-masing. KLB memang tidak dibutuhkan lagi karena Tan sendiri  telah mati.

Saya terjaga dari mimpi. Hari sudah siang, matahari telah tinggi,  Tan Malaka tak juga menghampiri.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Perang Twitter Versus Instagram