Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya


Dunia internet adalah dunia Wild Wild West. Jika dulu sering nonton film koboi di mana koboi bisa menyalakkan pistol dan senapan seenaknya, demikianlah perumpamaan dunia internet kini. Setiap orang, kecil besar, dewasa atau anak-anak, remaja atau yang sudah tua sangat bisa melakukan apa saja yang mereka kehendaki di internet. Bila anda sanggup untuk menahan emosi, marah, kesal dan mungkin ngeri, cobalah tonton video penembakan massal yang terbaru, misalnya di Bufallo AS.

Begitulah internet yang dulu dicita-citakan Tim Berners Lee sebagai media informasi menjadi dunia kelam dan mungkin sejarah kelam umat manusia. Orang-orang yang selalu berkelahi di media sosial, mereka yang selalu pamer di Instagram atau orang-orang yang memutarbalikkan fakta dan menyebarkan teori konspirasi di Facebook dan YouTube adalah keseharian dunia internet.

Saya ingat sebuah kalimat yang menggambarkan korupsi, tetapi akhir-akhir ini sangat cocok untuk diandaikan kepada para pengguna internet. Power Tends to Corrupt, More Power More Corrupt. Bagi saya kalimat ini lebih cocok menjadi Human tends to corrupt. Ya manusia cenderung ingin korupsi. Pengguna internet juga tiap hari korupsi, menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan mereka sendiri. Tujuannya tak lain untuk memperkaya diri, baik pengikut maupun kekayaan.

Di internet korupsi ini nyata adanya. Pengguna menggunakan kekuasaan yang ada di mereka walaupun kecil untuk melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Menyebarkan hoax, melakukan penistaan terhadap perempuan, melakukan kejahatan, melakukan ujaran kebencian, membuat teori konspirasi, melakukan bullying, child abuse, sexual abuse dan banyak lagi. Semuanya ini bersumber dari kekuasaan atau power yang dimiliki pengguna internet.

Pemilik layanan bukan tak berusaha membuat aturan dan melaksanakan aturan tersebut. Namun usaha mereka yang bisa dikatakan usaha polisi untuk mencegah menyebarnya penyalahgunaan layanan mereka dan menegakkan hukuman masih sangat lemah. Kondisi ini diperparah oleh sikap sebagian besar layanan yang greedy alias tamak untuk mendapatkan pendapatan. 

Masalah lain adalah tidak semua orang setuju dengan apa yang dilakukan layanan dalam menegakkan aturan mereka yang cenderung lemah tersebut. Sampai sekarang sangat banyak pelanggar aturan terutama terkait dengan ujaran kebencian, hoax dan sejenisnya yang tidak dihukum. Bahkan yang dihukum semacam Donald Trump yang jelas-jelas bisa menumpahkan darah di offline masih dianggap pahlawan dan penghapusan akunnya dipertanyakan banyak pihak.

Layanan jadi serba salah? Tidak juga. Pada dasar layanan seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube dan banyak media lainnya memang lemah dalam hal melakukan moderasi konten. Mereka cenderung mengandalkan alat otomatis seperti AI dan moderator manusia sering diabaikan. Moderator manusia ini sering disebut tukang sapu dan saya sendiri pernah jadi tukang sapu selama lebih dari 4 tahun meskipun kini telah kehilangan sapu. Eh

Kisah tukang sapu bukanlah kisah indah. Sehari-hari tukang sapu harus melihat konten remaja bunuh diri, menyilet urat nadi, orang-orang yang mengalami kecelakaan maut, pelajar yang berkelahi secara ganas dengan teman mereka, pelajar tawuran dengan membawa rantai sepeda, parang, batu dan pedang. Konten busuk seperti itu banyak sekali jumlahnya di internet, mungkin jutaan. 

Tentu konten busuk tersebut tidak otomatis muncul di internet. Konten tersebut merupakan hasil dari human tends to corrupt on internet. Orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan mereka di internet. Cobalah telusuri kalau tidak percaya. Buka Facebook, lalu ketikkan di bilah pencarian pelajar berkelahi atau orang bunuh diri. Siapkan mental terlebih dahulu sebelum menonton konten seperti itu karena bisa saja nanti jadi gila.

Sekitar 4 tahun yang lalu, saya memulai sebuah perjalanan menjadi tukang sapu di internet. Berbekal sedikit pengetahuan dan pemahaman tentang Community Guidelines (CGL) YouTube saya beranikan diri untuk, setidaknya memiliki peran dalam menciptakan lingkungan YouTube yang aman, jauh dari konten yang menyalahi CGL. Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, lebih dari 10 ribu konten yang saya laporkan dengan tingkat keberhasilan di atas 95%. 

Sebagian dari konten tersebut merupakan konten bunuh diri remaja yang viral di Indonesia. Sebagian lagi konten perkelahian pelajar, remaja perempuan berkelahi, remaja laki-laki berkelahi, bullying, harassment, child abuse, orang dewasa berkelahi, animal abuse, tawuran, disinformasi sekitar vaksin dan Covid-19 dan banyak lainnya. 

Tak mudah untuk jadi tukang sapu di internet. Orang-orang mungkin mengira dengan bayaran sekian (yang sebenarnya tidaklah cukup) bisa diperoleh hasil sekian ratus konten per bulan. Dan lagi, yang punya layanan tidak mau membayar secara langsung. Mereka melalui kerja sama dengan berbagai organisasi lebih mengandalkan volunteer. 

Hal ini diperjelas ketika saya ikut mendaftarkan diri agar bisa menjadi tukang sapu mandiri di sebuah layanan. Layanan mengatakan mereka tak melakukan pembayaran. Menyapu konten lebih kepada volunteer. Gila saya kira.

Dengan jutaan konten yang menyalahi aturan dan jumlahnya bertambah setiap detik, adalah aksi gila bila menyerahkan moderasi konten ke volunteer. Akan tetapi, seperti itulah kenyataannya. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, keseriusan layanan dalam melakukan moderasi konten memang mengkhawatirkan. Mereka cenderung ingin berhemat, mengandalkan tenaga-tenaga yang dibayar jauh di bawah pembayaran yang layak dan kalau bisa gratis.

Setelah tidak jadi tukang sapu lagi, saya berniat untuk melupakan hal-hal yang pernah saya lakukan selama melakukan tugas tersebut. Tidak mudah. Bila Anda terus-menerus menonton orang bunuh diri, setidaknya sekali atau dua kali hal tersebut terbawa, terasa dan mungkin jadi mimpi buruk di malam hari. Bila terus-menerus menonton anak-anak yang dilecehkan, remaja berkelahi, mungkin suatu waktu Anda secara tak sengaja terbawa suasana atau bahkan menjadi murung tanpa sebab.

Hal-hal psikologis ini jarang sekali jadi sorotan. Para tukang sapu selamanya akan mengalami masalah mental yang tak sedikit. Orang-orang bergembira, menulis laporan, dan bahkan menganggap tidak melakukan pekerjaan tanpa melihat sisi lain tukang sapu yang sekian tahun berhadapan dengan konten yang tidak bisa dilihat orang-orang biasa.

Seperti itulah nasib tukang sapu. Akan tetapi, saya tetap bergembira. Kehidupan yang saya jalani, minimalnya empat tahun terakhir ada manfaatnya bagi orang banyak. Orang-orang biasa, yang bisa saja terguncang hatinya melihat konten kekerasan, bunuh diri, bisa diselamatkan dari menonton konten seperti itu. 

Mungkin di masa depan, saya akan aktif lagi menuliskan pikiran-pikiran bodoh saya di blog ini. Saya kira berhadapan dengan keyboard akan lebih mudah bagi saya daripada berhadapan dengan orang lain. Demikianlah.

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu