Kimi Hime dan Kegatalan Terhadap Moral

Kimi Hime (sumber: Kincir(dot)com)
Beberapa hari ini Indonesia dirundung Kimi Hime. Kimi Hime kenal? Saya sih tidak. Namun para penggila games mungkin kenal sama adik Kimi Hime yang keren ini. Keren bukan saja ia punya subscriber 2,2 juta lebih di YouTube, tetapi juga penampilannya. Sebagai cosplayer, Kimi Hime memang memaksimalkan penampilannya. Ditunjang oleh bentuk anggota tubuh menggoda, tak pelak Kimi Hime jadi pujaan.

Kimi Hime sudah lama disorot. Sebelum heboh Kominfo memaksa menurunkan 3 videonya di YouTube, saya pernah mendengar keluhan yang sama. Saya mengira terlalu banyak orang yang ngaceng karena melihat Kimi Hime. Padahal hanya lewat layar, pun ia hanya bermain games dengan gemesnya.

Sejauh pengalaman mereview konten, Community Guide Lines YouTube secara jelas melarang konten seksual. Namun larangan ini bukan sesuatu yang baku yang berujung kepada penghapusan konten. Konten bernuansa seksual merupakan salah satu konten yang sangat sulit untuk direview. Salah satu alasan untuk ini adalah karena standarnya tidak ada.

Misalnya, ketelanjangan atau tidak telanjang tetapi suggestive itu seperti apa sih? Konten seksual yang secara jelas memperlihatkan alat vital, aksi persetubuhan, aksi lain serupa dengan itu, misalnya mempertontonkan puting, payudara, jelas-jelas dilarang di YouTube. Namun apakah Kimi Hime melakukan salah satu di antara larangan tersebut? Jawabannya tidak.

Lalu mengapa kita harus memaksakan moral kita yang mudah ngaceng untuk mengekang orang lain?

Masalahnya tak sesederhana itu Boss!

Bila kita menonton video pembelaan Kimi Hime, di sana Kimi memperlihatkan UU Antipornografi. Ada beberapa hal yang dilarang di UU tersebut. Namun semuanya tidak dilanggar oleh Kimi Hime. Lalu di mana salahnya Kimi Hime ini?

Saya tidak tahu. Saya melihat beberapa video dan membaca judul videonya. Ada beberapa video dengan judul click bait, sebuah taktik yang umum dipakai oleh media online di Indonesia untuk meraih klik. Lalu ada yang menuduh bahwa Kimi Hime menggunakan taktik ini. Saya rasa Kimi Hime memakluminya karena judul video merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pertarungan mencari klik. Namun apakah yang lain tidak menggunakan taktik yang sama? 

Media online di Indonesia sudah lama menggunakan taktik ini, hampir-hampir tanpa malu karena rasa malu mereka sedemikian tipisnya. Lalu apakah mereka dihukum?

Saya rasa memaksakan standar moral dalam dunia yang makin ke depan ini bukan sesuatu yang bijak. Kimi Hime mengungkapkan bahwa sangat sedikit dari penontonnya yang anak-anak. Pun sebenarnya bukan tanggung jawab dia karena anak-anak ada di bawah pengawasan orangtua mereka. Menyalahkan anak-anak yang menonton konten yang tidak seharusnya kepada creator konten saya rasa sebuah hal yang terlalu jauh.

Terlebih sebenarnya kepopuleran Kimi Hime terbatas di YouTube. Itu artinya ketika namanya dipopulerkan oleh pengambil kebijakan, namanya tersebut berpotensi populer di tempat lain. Maksud hati memaksa Kimi Hime untuk sopan dan menyensor kontennya, kenyataannya hal tersebut menjadi ajang promosi gratis baginya. Orang-orang yang sebelumnya tak peduli, bahkan mungkin tak pernah mendengar Kimi Hime jadi tertarik untuk melihat seperti apa dia. Mungkin juga kemudian menjadi pelanggan di channel-nya.

Dan lagi konten Kimi Hime tersebut bisa direview diam-diam tanpa harus menimbulkan debat skala nasional yang menguras energi. Ada mereka yang khusus mereview konten di YouTube, serahkan ke mereka saja.

Saya merasa, sudah waktunya kita berpikir hal-hal yang lebih substansial daripada sekadar remeh-temeh soal konten Kimi Hime. Namun sebagian orang tetap tak mau mengerjakan hal-hal yang substantif tersebut. Mereka tetap ingin urus hal remeh-temeh karena alasan moral.

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya