Apakah Guru Masih Pantas Digugu dan Ditiru

Ilustrasi, guru sedang mengajar, sumber: riautrust.com

Di sebuah sudut di kaki Gunung Merapi, Sumatera Barat, berdiri sebuah sekolah dasar. Namanya SD Inpres Andalas. Di sekolah itu, saya belajar, mengenal dunia dari guru-guru yang sedemikian ikhlas dan berbakti. Waktu itu, tentu saya tidak bisa merasakan betapa besar pengorbanan guru saya, Datang pagi-pagi dari kota ke daerah di kaki gunung Merapi. Semua guru tersebut berjalan kaki, ada yang hingga 30 kilometer sehari (pergi dan pulang). 

Kepala sekolah saya rumahnya berada sekitar 10 kilometer dari kampung saya. Ia setiap hari berjalan kaki, tetapi tidak melalui jalan besar. Ia melewati persawahan. Tentu saja ia menanggalkan sepatunya dan menggulung kaki celananya setiap berangkat dan pulang dari mengajar. Hampir tidak pernah terlihat rasa lelah mereka untuk mengajar saya dan teman-teman saya waktu itu. Saya percaya, gaji mereka tidak sebesar gaji guru-guru sekarang ini. Namun mereka selalu bersemangat, memberikan pengajaran kepada kami, agar bisa mengenal dunia, agar punya pengetahuan dan menjadi orang yang berhasil kelak.

Bisa dikatakan bahwa guru zaman itu adalah guru yang memang berniat menjadi guru. Guru waktu itu kebanyakan lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Bisa dikatakan mereka mengajar sambil belajar. Mereka berniat menjadi guru karena ingin berbakti, menularkan ilmu pengetahuan agar generasi setelahnya menjadi lebih baik. Mereka mendidik, bukan hanya mengajar.

Melihat pengorbanan guru waktu itu, tentu saja guru kami menjadi orang yang sangat dihormati. Mereka adalah orang-orang khusus yang digugu dan ditiru. Kata-katanya selalu terpatri di hati kami, muridnya. Nasihat-nasihatnya menjadi pengingat yang ampuh untuk mengarahkan kami ke jalan yang lebih baik. Guru benar-benar menjadi pahlawan bagi murid. Guru sangat berjasa memberikan banyak hal, tidak hanya pengetahuan, namun juga teladan perilaku yang baik.

Tidak hanya di sisi kharisma guru waktu itu yang memungkinkan siswa merasa sangat bergantung kepada guru. Waktu itu, buku pelajaran disalurkan oleh pemerintah. Hampir bisa dikatakan standarnya sama karena buku yang menjadi rujukan semuanya terbitan pemerintah melalui Balai Pustaka. Jumlah buku yang tersedia jauh lebih sedikit dibandingkan murid yang ingin membacanya. Membaca buku bergiliran, bahkan kadang hanya didiktekan oleh guru di depan kelas. Namun semua itu bukan halangan untuk belajar lebih giat. Kekurangan yang ada memacu guru dan murid untuk memperbaiki keadaan.

Guru menjadi andalan sebagai sumber terpercaya dalam proses belajar-mengajar sekaligus poros dalam mendidik. Guru melalui kegiatan mengajarnya dan perilaku mereka di sekolah yang sangat baik membuat murid selalu menggugu dan meniru mereka. Tentu saja tidak semua murid bisa dikatakan patuh. Namun bisa dikatakan bahwa pengaruh guru terhadap perilaku murid sangat terasa. Rasa hormat kepada guru merupakan hal yang luar biasa sehingga tidak mungkin bagi murid untuk menentang guru.

Jasa guru saya tersebut sangatlah besar. Dulu sewaktu saya di sekolah dasar, saya bercita-cita menjadi seorang guru karena terinspirasi oleh pengorbanan guru saya waktu itu. Perlu diketahui untuk mencapai kampung saya waktu itu, butuh perjuangan yang tidak sedikit. Jalan yang hanya berbatu tanpa aspal, kadang kalau hujan mirip dengan kubangan besar tidak menghalangi mereka untuk mengajar. Demikian juga kepala sekolah. Melewati rute persawahan setiap hari, bertelanjang kaki, bukan sesuatu hal yang memalukan demi mengajar murid dan memimpin sebuah sekolah di kaki gunung. 

Tentu mengingat semua itu membuat saya sedih. Apalagi bila membandingkannya dengan kondisi sekarang ini. Sekolah hari-hari sekarang ini sebuah anomali. Banyak orang tua berharap dengan menyekolahkan anak mereka, mereka bisa berharap anak-anak bisa memperoleh ilmu. Namun kenyataannya, apa yang diharapkan tersebut tidak selalu menjadi kenyataan.

Guru sekarang ini jauh berbeda dengan guru zaman saya dahulu. Guru sekarang ini menjadi guru modern dengan segudang kegiatan. Kegiatan tersebut tidak hanya di sekolah, tetapi juga di internet. Sekarang banyak guru yang  terjun menulis di internet, yang mau tidak mau mengurangi fokus mereka dalam mendidik.

Belum lagi jika kita lihat ada guru yang menulis buku ajar, yang kadang dilombakan secara resmi oleh pemerintah. Kesannya kini profesi guru memiliki seribu satu kegiatan. Fokus mereka tidak lagi mendidik murid, namun sudah terbagi ke berbagai bidang kegiatan. Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa hormat terhadap guru saat ini jauh merosot. Guru bukan lagi orang suci yang perilakunya menjadi panutan murid. 

Bila dibandingkan, apakah kualitas guru masa lalu lebih baik daripada masa sekarang ini? Saya berani mengatakan bahwa secara kualitas, guru saat ini jauh lebih baik. Ada beberapa alasan yang memperkuat pendapat saya tersebut.

Pertama, tingkat pendidikan yang lebih baik. Guru-guru dulu sebagian besar adalah lulusan IKIP atau SPG. Kini tidak sedikit guru yang lulusan strata 2 dan 3. Banyak guru yang memperoleh bea siswa untuk memperdalam ilmu mengajar mereka di luar negeri. Pendidikan yang tinggi yang diperoleh guru saat ini memungkinkan mereka memiliki pengetahuan yang lebih baik. Cara-cara mengajar yang akrab dengan teknologi terutama internet bukan sesuatu yang sulit kita jumpai saat ini. Ini pertanda positif kualiatas guru sangat baik saat ini dibandingkan beberapa dasawarsa yang lalu.

Kedua, program pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru juga sangat banyak. Program seperti sertifikasi guru, dulu tidak pernah ada. Kini pemerintah melakukan hal tersebut.

Ketiga, buku ajar kini sangat banyak. Tidak hanya dari pemerintah melalui BNSP yang melakukan standarisasi buku ajar, tetapi juga dari penerbit swasta yang sangat banyak. Hal ini menjadikan guru memiliki sumber untuk mengajar di kelas sangat banyak.  Sumber tersebut bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan siswa.

Pertanyaannya, apakah kualitas guru tersebut bisa menjadi jaminan berhasilnya pendidikan di sekolah?

Saya rasa jawaban atas pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Keberhasilan pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas guru, namun banyak faktor. Selain kualitas guru tersebut, patut kita pikirkan bahwa secara kharisma di depan murid, guru saat ini jauh menurun dibandingkan guru beberapa tahun atau masa yang lalu. Seperti ada yang hilang, yaitu rasa digugu dan ditiru. Murid tidak lagi melihat guru sebagai pribadi teladan karena berbagai hal yang mereka rasa tidak pas dengan predikat seorang guru.

Cukup banyak tanda bahwa guru kini mungkin sudah bukan panutan pribadi yang baik bagi murid. Saya rasa banyaknya tawuran saat ini merupakan bentuk kegagalan guru dalam memberikan pendidikan. Dulu juga ada tawuran, namun tidak semasif sampai ada yang terbunuh seperti sekarang ini. Murid nakal dari dulu sangat banyak, tetapi mereka selalu menghormati guru sebagai seorang yang berkepribadian sangat baik sehingga nakal pun ada batasnya. 

Pendapat saya, saat ini guru cenderung memacu otak murid dengan segala macam pengetahuan, namun kurang membekali mereka dengan akhlak atau budi pekerti yang baik. Hubungan guru dengan murid sekarang ini cenderung hubungan formal di sekolah belajar-mengajar.  Hubungan emosional guru dengan murid cenderung menurun. Tentu hal ini bukan salah guru sendiri. Bila kita lihat dari sisi kurikulum, terlihat bahwa akhlak atau budi pekerti siswa kurang mendapat perhatian dalam kurikulum. Baru beberapa waktu belakangan hal ini menjadi perhatian dengan memberikan sedikit kemajuan seperti penanaman nilai karakter.

Kurangnya penanaman akhlak atau budi pekerti yang baik kepada siswa menjadikan siswa tersebut zombie. Mereka mungkin pintar secara otak, menguasai banyak hal, namun kepribadian mereka kurang kokoh. Mudah terombang-ambing oleh keadaan. Kurang memahami agama yang berujung kepada banyak munculnya siswa yang frustasi di sekolah. Lingkungan siswa juga turut memengaruhi. Orang tua cenderung menyerahkan secara total anak mereka ke sekolah. Padahal orang tua seharusnya bekerja sama dengan sekolah, melalui guru demi pendidikan anak mereka.

Tentu ada cara untuk memperbaiki semua hal tersebut di atas. Hal yang terpenting bagi saya adalah bahwa sentralnya ada pada guru. Guru harus bisa menunjukkan kepada siswanya bahwa mereka adalah pribadi yang patut digugu dan ditiru. Bukan saja karena mereka orang yang berpengetahuan, tetapi lebih kepada pribadi mereka yang menjadi anutan dan patut diteladani. Dengan atau tanpa kurikulum, semestinya guru menekankan pendidikan dalam arti keseluruhan, bukan hanya proses belajar-mengajar di sekolah. Pendidikan tidak diartikan sempit seperti membangun generasi pintar, tetapi lebih luas dari itu, menciptakan generasi selain pintar, juga sangat baik dalam kepribadian atau budi pekerti. Generasi yang pintar secara keseluruhan, secara total, baik hati maupun pikirannya. Inilah yang seharusnya diupayakan. 

Comments

  1. setuju gan.. diperlukan program guru yang berkarakter untuk membentuk siswa yang berkarakter pula..

    informasi apik.. mampir dan komennya ditunggu :D

    ReplyDelete
  2. Nah, saya menggaris bawahi kata-kata di atas, "...dari dulu juga ada siswa-siswa nakal, tapi masih menaruh hormat kepada gurunya..."

    siswa-siswa sekolah sekarang tidak seperti dulu. Apakah ini faktor dari gurunya yang terlalu sibuk mengurusi urusan di luar dari mengajar?

    awesome article om erick, pasti menang :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya rasa pasti ada faktor dari guru. Guru dengan segala permasalahannya kini kurang akrab dengan murid secara emosional. Mungkin karena mencari tambahan di luar. Bisa juga karena malah lebih sering online daripada offline. Murid menjadi kurang perhatian.

      Amin, makasih doanya.

      salam

      Delete
    2. di daerah saya ada sekolah SD dan SMP.... dari dulu sampe sekarang gurunya ya masih yang dulu2...tapi tetep aja anak murid nya nakal.... ya kita ikuti aja pengaruh dari perkembangan zaman...
      kalo dulu guru berani mukul murid....kalo sekarang mukul murid guru di penjara....

      Delete
  3. kayaknya depend on personality deach...tetap aja dari dulu sampe skrg ada guru yg baik dan ada yg gak. jd gak semudah itu menggeneralisasi

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya