Media Sosial Penggunanya Antisosial

Sumber: 4.bp.blogspot.com

Tidak diragukan lagi, kini orang makin lebih sering menggunakan media sosial. Dengan komputer, tablet, smartphone dan ponsel, media sosial dapat dijangkau. Biaya langganan internet mobile yang semakin murah membuat cuap-cuap di media sosial semakin menjadi-jadi. Aplagi bagi kalangan tertentu, bermedia sosial memberikan sensasi lebih karena mungkin bisa mencitrakan diri lebih baik dan mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Kita bisa heran, begitu pentingnya media sosial bagi sebagian orang Indonesia khususnya yang terkoneksi dengan internet. Berbagai tingkah polah pengguna media sosial dapat kita saksikan setiap hari. Ada yang hanya sebagai pengguna biasa, menikmati model pertemanan baru yang lebih intim, tetapi berjarak nyata. Ada juga yang ingin berbagai opini, membagi ilmu, berdakwah dan dukung-mendukung calon gubernur.

Interaksi pengguna media sosial, khususnya Twitter yang setiap hari saya ikuti, mungkin sebuah interaksi yang tanpa henti. Sedari pagi, siang, sore, malam hingga dini hari kemudian pagi lagi, media sosial Twitter riuh rendah dengan berbagai kejadian. Ada yang melakukan perang, menjelekkan pihak-pihak tertentu yang tidak disukainya atau tidak disukai oleh orang yang membayarnya. Ada yang sangat agresif menyerang pihak atau pengguna media sosial lainnya dengan berbagai tweet atau komentar.

Sayangnya, kegiatan menggunakan media sosial belumlah disertai dengan pengetahuan yang cukup baik. Banyak kita lihat kelucuan bahkan kebodohan, bahkan dari pejabat sekelas wamenkumham dalam menggunakan media sosial Twitter. Banyak pengguna merasa bahwa cuap-cuap di media sosial itu tanpa sanksi hukum sehingga bisa seenaknya melakukan bullying terhadap orang lain.


Bila kita lihat data yang dikemukakan oleh ICT Watch di tahun 2011 ternyata hampir semua pengguna internet memanfaatkan media sosial yang terdiri dari Facebook, Twitter, Google Plus, YouTube, Flickr, Forum dan Blog sebagai sarana menyalurkan ekspresi. Ini artinya pengguna internet Indonesia sebagian besar  sangat akrab dengan media sosial. Data yang lebih umum dapat kita lihat dari jumlah pengguna Facebook Indonesia yang menempati posisi keempat terbesar di dunia dan posisi kelima di Twitter. Ini artinya sebagian besar mereka yang terkonekasi dengan internet sangat akrab dengan media sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Ada hal yang perlu kita kritisi dari keterlibatan pengguna internet dalam media sosial. Data ICT Watch mengungkapkan 68% dari pengguna internet dalam mengungkapkan ekspresinya belum beretika. Ini hal yang sangat penting kita kritisi dan semakin hari, semakin banyak saja kejadian tak beretika yang terjadi di media sosial khususnya.

Mungkin ini namanya zaman kebebasan. Siapa saja yang punya koneksi internet bisa cuap-cuap di media sosial. Bahkan ada indikasi yang mengarah kepada dimanfaatkannya media sosial seperti Twitter sebagai sarana untuk melakukan fitnah. Ini terkait dengan data-data tertentu yang diungkap tentang seseorang tokoh yang mungkin tidak disukai atau memang dibayar untuk melakukan fitnah tersebut. Padahal akurasi data di Twitter tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan.

Tidak beretikanya sebagian pengguna media sosial saya rasa didorong oleh ketiadaan sanksi hukum yang tegas. Jamak kita lihat bila ada penghinaan terhadap seseorang di Twitter, yang dihina lebih menahan diri atau malah membiarkan begitu saja hal tersebut. Mungkin karena sulit juga untuk diklasifikasikan ke mana kasus penghinaan tersebut. Saya rasa meski sudah ada undang-undang ITE, undang-undang ini mungkin belum bisa memayungi kemajuan media sosial yang sangat kencang dua tahun terakhir ini.

Sisi hukum memang selalu tertinggal dibandingkan dengan kemajuan teknologi. Perlindungan bagi pengguna Facebook dan Twitter jika suatu waktu mereka dirugikan hampir-hampir tidak ada yang spesifik sehingga memungkinkan banyak kejadian yang merugikan pengguna. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa jika masih belum ada sanksi hukum yang tegas, kegiatan tak beretika di media sosial akan terus dan terus terjadi dan akan semakin meningkat, terutama bila ada peristiwa penting seperti Pemilu atau Pilkada.

Hal lain yang perlu kita kritisi adalah anggapan terpisahnya dunia maya, dunia media sosial dengan kehidupan keseharian. Mungkin sebagian kita beranggapan kalaupun dihina di media sosial, belum tentu berpengaruh ke kehidupan nyata. Padahal akibat penghinaan tersebut bisa menciderai jiwa dan akan sulit untuk hilang. Untuk itu perlu rasanya kita memahami bahwa kehidupan kita di dunia maya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan di dunia nyata. Makin hari kehidupan di media sosial akan makin memengaruhi kehidupan nyata dan apabila tidak dijaga dengan baik akan memperburuk kehidupan di dunia nyata.

Hal aneh bagi saya, melihat banyak orang bersitegang urat leher untuk mempertahankan opini yang mereka buat. Banyak pengguna Twitter yang saya ikuti melakukan tweet seolah-olah tweet itu adalah kebenaran sejati yang perlu dibela sampai mati. Apa pula sebenarnya pentingnya beropini seperti itu. Jika kita lebih cerdas, ada baiknya menuliskan dalam artikel yang lebih tertata dengan baik dan tentu penuh dengan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bermedia sosial bagi sebagian besar pengguna, bukan lagi sebuah sarana untuk berbagi hal positif. Banyak pengguna media sosial terdorong menjadi narsis. Mengunggulkan kebenaran diri sendiri, menghargai diri sendiri melebih orang lain. Lebih suka membicarakan diri mereka sendiri dibandingkan orang lain. 

Tidak heran sebenarnya ada pengguna media sosial seperti Twitter berani berkata kasar, menjelekkan orang lain untuk menunjukkan keakuannya. Segala cara dilakukan untuk menunjukkan superioritas diri terhadap pengguna lain. Oleh karena pengguna lain pun tidak mau kalah, terjadilah apa yang disebut kekacauan, kegiatan bermedia sosial menjadi kegiatan yang mempertontonkan sesuatu yang di luar akal sehat. Mempertontonkan perilaku antisosial.

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya