Melawan Hoax, Catatan Penting yang Boleh Diabaikan


Menarik untuk dibaca dan didalami apa yang dipublikasikan oleh Open MIC beberapa waktu yang lalu. Publikasi yang berjudul Fake News, Hate Speech & Free Expression tersebut mengulas tentang hoax dengan cukup detail termasuk bagaimana perusahaan besar seperti Google atau Facebook menghadapinya.

Publikasi ini bukanlah sebuah hasil penelitian, tetapi lebih kepada sebuah rangkuman bagaimana fake news sedemikian telah menyebar dan usaha yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama media sosial seperti Facebook yang kini menjadi pelabuhan utama setiap orang untuk memperoleh berita serta Google yang menguasai pasar mesin pencari di dunia.

Dari publikasi tersebut ada beberapa hal yang patut kita perhatikan terkait makin menularnya fake news, hoax, konten fabrikasi dan konten senada yang bertujuan untuk melakukan disimformasi dan membentuk suatu perlawanan terhadap demokrasi. Saya percaya bahwa di belakang hoax ini ada unsur lain yang bermain, entah itu tujuan finansial maupun tujuan merusak demokrasi dengan cara menempelkan berbagai isu sensitif seperti agama dan ras serta kesenjangan di sisi ekonomi sebagai bara yang siap dilemparkan mana kala dirasa kondisi sudah cukup matang.

Pengalaman di Amerika Serikat pada pemilu tahun 2016 menunjukkan bahwa peredaran hoax ini bisa mengubah hasil pemilu, meskipun secara tegas Facebook sebagai media penyebaran hoax nomor satu menolak peran mereka. Namun, tidak dapat dibantah bahwa Facebook telah menjadi gate keeper informasi hampir 2 miliar manusia di bumi dan algoritmanya telah menimbulkan fenomena echo chamber dan membuat polarisasi tajam di antara berbagai kelompok yang pada awalnya cuma di internet, namun dengan makin menyatunya kehidupan online dan offline manusia hal tersebut terus merembet ke dunia nyata, ke pergaulan sehari-hari sehingga tinggal menunggu waktu meledak saja.

Itulah mengapa kita perlu memahami bagaimana hoax ini bekerja dan memengaruhi sebegitu banyak orang dan orang tersebut tidak merasa dibohongi karena mereka hidup di bawah tempurung mereka sendiri, kelompok mereka sendiri yang terus-menerus mengonsumsi dan mendistribukan hoax atau fake news tersebut.

Sebagaimana pernah saya tuliskan sebelumnya, di Apa dan Mengapa Hoax Populer faktor kelompok memainkan peran yang cukup signifikan dalam penyerabaran hoax sekaligus menjadi rintangan untuk menumpas hoax tersebut. Mengapa demikian?

Orang cenderung mempercayai apa yang dipercayai oleh kelompoknya. Contoh ( ini hanya contoh) ketika suatu kelompok mengklaim jumlah orang yang ikut demo sebanyak 7 juta, anggota kelompok tanpa pandang bulu meyakini fakta ini, meskipun secara logika tempat tertentu tidak akan bisa memuat orang sebanyak 7 juta. Jika ada fakta yang digali dari ilmu pengetahuan untuk mengkritisi jumlah tersebut, hal tersebut tidak akan mampu mengubah kepercayaan seseorang karena mereka lebih percaya apa yang dipercaya oleh kelompoknya. Dan kepercayaan ini terus-menerus ditularkan dengan berbagai cara agar anggota kelompok tidak punya pilihan atau alternatif informasi yang lain. Hoax tersebut terus-menerus dibagi dan disebarkan untuk mempertahankan kepercayaan anggota kelompok dan selalu mengecap mereka yang menentang hoax tersebut adalah hoax dan perlu dilawan.

Algoritma Facebook merupakan bagian penting dalam pembenaran kelompok ini. Facebook telah membuat kelompok-kelompok yang saling terpisah satu sama lain yang meyakini kebenaran mereka dan menafikan kebenaran kelompok lain sehingga tidak mengherankan bahwa Facebook adalah sarang hoax nomor satu di internet. Algoritma Facebook menutup pintu suatu kelompok terhadap kelompok lain, anggota kelompok hanya akan berinteraksi dan mempercayai apa yang dibagi di kelompok tersebut sehingga ketika mereka berinteraksi dengan kelompok lain akan terjadi ketegangan, perselisihan dan mungkin chaos. 
Democracy relies on people being informed about the issues so they can have a debate and make a decision. Having a large number of people in a society who are misinformed and have their own set of facts is absolutely devastating and extremely difficult to cope with ( Stephan Lewandowsky, University of Bristol)
Itulah mengapa akhir-akhir ini pressure group yang atas nama demokrasi melakukan tekanan melalui upaya turun ke jalan meminta hukuman dijatuhkan yang sebenarnya didasari oleh misinformasi. Mereka memiliki kebenaran sendiri yang bila mana didebat tidak akan cukup waktu seabad untuk mengubah pendirian kebenaran versi mereka karena sudah ditanam sedemikian rupa plus ditempeli isu agama dan ras.

Pertanyaannya adalah mengapa kelompok ini memiliki kebenaran versi mereka sendiri? Tidak lain karena interaksi mereka yang intensif melalui internet yang difasilitasi terutama oleh media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp bahkan mesin pencari Google. Untuk itulah, sudah seharusnya kita meminta tanggung jawab ke perusahaan-perusahaan besar tersebut meskipun (sekali lagi) Facebook berlepas tangan.

Namun tentu Facebook dan Google sebenarnya tidak bisa berlepas tangan dengan fenomena fake news atau hoax yang menyebar di platform mereka. Facebook sendiri sudah berupaya cukup bagus dengan kampanye mengenali peredaran berita palsu atau hoax di platform mereka sendiri yang di Indonesia bekerja sama dengan Dewan Pers dan ICT Watch. Kampanye persuasif ini dilakukan dengan merilis berbagai langkah yang ditempelkan di atas news feed setiap pengguna agar mereka mengenali fake news dan tidak membaginya. Namun sejauh ini tindakan tegas seperti penghapuasan akun belum terlihat di Indonesia.

Di Prancis kekhawatiran terhadap peredaran berita palsu ini sebelum pemilu pemilihan presiden juga cukup tinggi. Namun Facebook bertindak cukup cepat dengan menghapus sebanyak 3.000 akun palsu sebelum pemilu tahap pertama. Perlu kita pahami, fake news atau akun palsu tersebut belum tentu berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan salah satu kandidat presiden. Berdasarkan pengalaman di Pemilu AS akun palsu dan berita palsu cenderung memanfaatkan emosi pengguna yang sering sangat cepat tercetus dengan seolah-olah mendukung salah satu calon demi keuntungan finansial.

Di Inggris, pemilu akan segera berlangsung di bulan Juni dan Facebook telah melakukan kampanye antipenyebaran fake news ini dengan memasang iklan di surat kabar cetak di Inggris sekaligus terus menghapus berbagai akun palsu. Upaya ini tentu sebuah hal yang patut kita apresiasi. 

Tambahan lagi, Facebook bekerja sama dengan fact checker pihak ketiga melakukan penandaan terhadap berbagai berita yang terindikasi palsu. 
Facebook recently announced that it is willing to pay third-parties to monitor news feeds; it has reportedly established relationships with third parties such as Politifact, Snopes, Associated Press, AFP, BFMTV, L’Express, Le Monde and Berlin-based non-profit Correctiv. If a user reports a story on Facebook to be misleading, and a third-party fact checker then confirms it is inaccurate, the story is flagged as “disputed.”
Namun pendekatan ini memiliki kelemahan yang signifikan terkait dengan algoritma news feed yang digunakan oleh Facebook itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Alison Griswold dari Quartz: 
A weakness of this approach is that because of the way Facebook’s social networks evolve, disinformation is often circulating among friends with similar ideologies, so fabricated content is less likely to be reported.
Harus disadari bahwa disimformasi terutama beredar di antara teman yang memiliki ide yang sama sehingga upaya untuk melaporkan bahwa suatu berita palsu akan sangat tidak disukai karena menguntungkan untuk ide tersebut/kelompok tersebut. Hal ini berarti upaya pelaporan berita palsu akan dihalangi oleh kelompok yang selama ini sebenarnya dibentuk oleh algoritma Facebook itu sendiri sehingga upaya ini mungkin tidak efektif.

Robyn Caplan dari Researcher at Data & Society juga meragukan kefektifan sistem pelaporan ini dengan mengatakan:
Until Facebook changes its own financial model, which prioritizes content that is easily shared, there is little hope for disrupting the current norms affecting the production of fake news or misleading content. While these policies do inhibit fake news producers from generating money on their own site, Facebook still benefits from the increased traffic and sharing on the News Feed. It’s unclear how Facebook will reduce their own reliance on easily shareable content, which has influenced the spread of fake or misleading news.
So bagaimana seharusnya Facebook memerangi fake news ini?

Ini adalah pertanyaan yang sulit. Dengan pengguna hampir dua miliar, sangat sulit bagi Facebook untuk mengawasi setiap konten yang diposkan dan dibagi di Facebook. Namun, tentu Facebook tidak bisa berlepas tangan begitu saja. Usaha-usaha yang telah dilakukan Facebook seperti diuraikan di atas sudah cukup baik dan perlu dilakukan secara terus menerus, bukan hanya per event seperti yang sudah dilakukan di Pemilu Prancis.

Di Indonesia sirkulasi berita palsu ini juga sudah terlihat dari beberapa waktu yang lalu dan akan terus membanjiri internet dengan semakin dekatnya Pemilu 2019. Kelompok-kelompok yang sudah tidak senang mulai terlihat dan mengutub, sementara kelompok pendukung juga mulai menyatukan kekuatan. Kita akan melihat nanti bahwa berbeda dengan di negara lain di mana peredaran berita palsu meskipun menguntungkan salah satu calon, belum tentu officially didukung oleh calon tersebut, di Indonesia justru berita palsu digunakan kelompok untuk mengeratkan kelompok mereka dan menggunakan keeratan kelompok tersebut untuk aksi-aksi di jalan untuk melakukan tekanan.

Di Indonesia ada kecenderungan berita palsu atau konten fabrikasi digunakan untuk menjaga anggota kelompok untuk tidak keluar dari jalur yang telah ditetapkan, menjaga semangat mereka dengan menempeli berita palsu tersebut dengan isu agama, ras dan kesenjangan ekonomi. Hal ini tentu berbahaya bagi demokrasi dan peran perusahaan seperti Facebook, Google dan Twitter untuk memutus sirkulasi berita palsu tersebut menjadi semakin penting. 

Pengguna pun semakin penting untuk dibuat melek informasi. Bisa membedakan mana informasi palsu dan mana informasi yang sebenarnya agar mereka tidak terperangkap dalam jaring kebodohan yang tidak mereka sadari atau terus berada di dalam kelompok yang memanfaatkan isu SARA demi kekuasaan.

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya