Suatu Ketika di Manokwari, Sebuah Catatan Perjalanan

Boleh dikatakan saya jarang bepergian. Jarang jalan-jalan. Namun demikian, jika sekali ada kesempatan jalan-jalan, saya ingin ke Indonesia Timur. Demikianlah beberapa waktu yang lalu, tepatnya dari 20 hingga 25 November 2016 saya berkesempatan mengunjungi Manokwari di Provinsi Papua Barat dalam sebuah misi mengabarkan literasi digital (😀).

Jujur ini perjalanan pertama saya ke wilayah Indonesia yang lebih jauh. Beberapa kali ke arah timur Indonesia hanya sampai di Bali. Ambon belum sempat saya kunjungi. Apalagi Banda Neira, sebuah pulau penuh sejarah yang menjadi ritual wajib untuk dikunjungi para penggemar Sutan Sjahrir. Semoga ada kesempatan ke sana.

Kisah ke Manokwari ini bermula pada hari Minggu (19/11). Sekitar pukul 8 malam saya naik Batik Air dari Halim Perdanakusumah menuju Makassar. FYI, saya tak menggunakan penerbangan langsung dan tidak peduli apakah itu penerbangan langsung atau tidak langsung, yang penting sampai di Manokwari. Sekitar jam 11.00 waktu Makassar mendarat di bandara Sultan Hasanuddin, kemudian sekitar pukul 02.30 waktu Makassar melanjutkan perjalanan ke bandara Rendani, Manokwari dengan Sriwijaya Air.

Tiba di Manokwari sekitar pukul 06.00 waktu Indonesia Timur. Menginjakkan kaki pertama kali di bumi Papua Barat ini membuat saya menghitung mundur ke Barat, betapa luas Indonesia ini. Itupun belum sampai ke ujung paling timur dari Indonesia. Bandara Rendani, Manokwari begitu bagus, meskipun kecil namun fungsional. Bumi Manokwari ini sangat menarik, sekilas pada pandangan pertama saya jatuh cinta.





Ketika sampai pertama kali saya langsung ke hotel. Oleh karena bisa dikatakan tidak tidur dalam perjalanan, saya memilih untuk memulihkan kondisi dengan tidur selama beberapa jam terlebih dahulu. Cuaca bisa dikatakan cukup panas, namun bisa berganti hujan dalam beberapa waktu saja. Ketika saya lihat, suhu sekitar 28 hingga 32 derajat celsius. Jauh lebih hangat dari kondisi di Bogor yang biasanya sekitar 24 hingga 28 derajat celsius.

Setelah tidur sekitar 2 atau tiga jam, perut lapar. Makan di hotel bukan pilihan sehingga saya bergerak ke luar sekitar 100 hingga 200 meter dari seberang hotel. Ada rumah makan yang tentu saja diusahakan bukan oleh penduduk asli, melainkan pendatang dari Jawa. Makan kenyang ala Warteg di Jakarta lengkap dengan es teh manis hanya Rp19.000,00. Saya berpikir tidak mahal sebab harga di Bogor atau Jakarta mungkin hanya murah sekitar 3 hingga 5 ribu saja dari harga tersebut.

Hal yang lebih bagus lagi ternyata koneksi operator selain Telkomsel, yaitu Indosat dan XL tersedia meskipun kecepatannya membuat pening kepala. Oleh karena saya menggunakan XL dan Indosat, untuk mengatasi hal tersebut saya perlu beli SIM Card baru dari Telkomsel yang sudah memiliki koneksi 4G di Manokwari meskipun dalan uji coba kecepatan, kecepatannya jauh di bawah kecepatan seharusnya di 4G, yaitu sekitar 3 hingga 4 Mbps saja. Namun tetap disyukuri karena saya bisa tetap tersambung ke media sosial, tetap bisa melakukan panggilan.

Beranjak malam tentu saja mencari tempat makan. Saya bersama dua teman lainnya memilih ikan bakar. Posisi rumah makan ini tidak jauh dari hotel, masih sekitar jalan Trikora Wosi, Manowari. 






Esok harinya bersama teman-teman yang lain saya berangkat menuju Prafi. Daerah ini cukup jauh dari kota Manokwari, sekitar hampir 1 jam perjalanan darat. Hal yang melegakan adalah jalan darat menuju Prafi ini sangat mulus, hampir tidak ditemukan jalan rusak seperti di Bogor.

Tujuan ke Prafi ada dua, pertama untuk merasakan Ayam Goreng Sabar Menanti yang nge-hits dan Duren Manokwari yang meskipun belum musim, sudah mulai ada di beberapa tempat. FYI, penduduk setempat mengatakan jika musim (sekitar saat natal dan tahun baru) harga duren di sini sangat murah, hanya Rp2.000 per buah.


Soal makan ayam goreng Sabar Menanti ini, saya rasa ayam gorengnya enak. Disajikan dengan sambal, gulai nangka, lalapan, dan nasi, Saya terutama sangat suka dengan sambelnya. Bila ke Manokwari, singgahlah di RM Sabar Menanti ini, Anda tidak akan menyesal.







Keesokan harinya bersama teman saya menyusuri Pulau Mansinam. Pulau Mansinam ini tidak jauh dari Manokwari, hanya sekitar 10 menit naik perahu dengan ongkos Rp5.000,00. Pulau Mansinam ini unik karena di sini terdapat patung Kristus Raja yang menjadi pertanda untuk Manokwari sebagai kota Perkabaran Injil dan diresmikian Presiden SBY pada tahun 2014 yang lalu.

Selama perjalanan laut biru membentang. Dunia begitu damai di sini. Bertemu dengan penduduk lokal yang ramah yang bolak-balik dari Mansinam ke Manokwari setiap hari untuk bekerja dan sekolah dengan menumpang perahu motor. Mereka ini begitu ramah, tidak terlihat suatu yang asing dari mereka atau saya sendiri. Berbicara dengan akrab dan sesekali tertawa dan menanyakan aktivitas mereka.  

Mendarat di Mansinam lalu meneruskan perjalanan menuju Patung Kristus Raja yang berdidi gagah di atas bukit. Sungguh perjalanan yang menyita banyak tenaga karena mendaki begitu lama. Pulau Mansinam ini akan sangat ramai sekitar bulan Februari mendatang karena banyak yang berziarah dan berkunjung untuk melihat Kristus Raja.











Setelah dari Pulau Mansinam yang sangat menarik, kembali ke hotel. Perlu diketahui, tiga teman seperjalanan saya adalah coffee addict. Satu juragan kopi, satunya lagi peminum kopi kelas berat, sementara satunya lagi pembuat kopi. Jadi selain makan dan jalan-jalan mereka mencari tempat minum kopi yang kopinya enak dan asyik meskipun di hotel juga sering bikin kopi sendiri.  Pernah sekali bertemu tempat minum kopi di Manokwari, namun kopinya biasa saja atau bahkan tidak menarik sama sekali plus tempatnya yang juga biasa.

Untuk itulah kami mencari di Google Maps tempat minum kopi yang asyik dan ditemukan Pondok Kopi Matoa. Sayangnya penanda lokasi warung kopi ini tidak akurat sehingga kami tersesat ke mana-mana hanya untuk minum kopi. Untunglah di halaman Google Maps tersebut ada nomor telpon yang bisa dihubungi dan ketika dihubungi, suara di seberang sana menunjukkan arah. Demikianlah, akhirnya sampai di Pondok Kopi Matoa yang asyik meskipun tidak menyediakan kopi Manokwari, tetapi ada kopi Wamena. Sakau kopi enakpun akhirnya terpenuhi. 










Sempat dua kali mengunjungi Pondok Kopi Matoa ini. Kopinya enak, layanananya bagus dan harganya juga sangat bersahabat. Bagi yang mau minum kopi di Manokwari, Pondok Kopi Matoa ini saya rekomendasikan untuk dikunjungi. 

Hari berikutnya adalah kesempatan untuk mencoba Coto Makassar. Saya sebenarnya antara suka atau tidak peduli dengan Coto Makassar ini karena memang tidak pernah mencobanya. Bagi saya Soto Padang atau Soto Kuning Bogor lebih menarik dan lebih sering saya nikmati. Namun tentu tidak mengapa mencoba Coto Makassar, apalagi di Manokwari, jauh dari asalnya di Makassar.

Warung pilihan Coto Makassar ini adalah Coto Makassar Nusantara. Perkara harganya saya tidak melihat, hanya memberikan sekian rupiah untuk digabung dengan yang lain lalu dibayarkan. Menurut saya yang baru mencoba Coto Makassar, Cotonya enak. Mungkin karena lapar? Barangkali. Namun pengunjungnya selalu ramai. Ini tanda bahwa Coto Makassar Nusantara ini enak.





Di hari terakhir di Manokwari adalah mencari oleh-oleh. Saya bukan orang yang terlalu tertarik dengan sesuatu yang eknik sehingga memutuskan untuk tidak membeli sesuatu yang khas berupa pakaian atau penanda khas lainnya dari Manokwari. Pilihan saya ada pada makanan khas, yaitu Abon Gulung Hawai Bakery. Abon Gulung Hawai Bakery ini unik, enak dan tentu saja halal. Abon Gulung Hawai Bakery ini oleh-oleh wajib jika Anda ke Manokwari.





Sebelum pulang sempat sebentar singgah di Pantai Bakaro yang masih asri. Pasirnya putih dengan batu karang besar dan ombak yang juga cukup besar. Pantai ini jarang dikunjungi sehingga saya rekomendasikan jika ke Manokwari.






Secara umum, Manokwari merupakan kota yang menyenangkan. Cuacanya lumayan panas. Kota Manokwari bukan tertinggal dibandingkan kota-kota lain di wilayah barat, meskipun masih banyak yang perlu mereka capai, namun kota ini bergerak menuju kemajuan. Penduduk lokal bisa dikatakan bersahabat, sementara pendatang memang banyak menguasai berbagai sektor ekonomi. Tapi bukan berarti penduduk asli tertinggal sama sekali. Dalam pengamatan yang hanya beberapa hari, penduduk asli pun menikmari kemajuan. 

Comments

Popular posts from this blog

Bisnis Jual-Beli Organ Tubuh Manusia

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium