TKDN yang Bikin Galau

TKDN bukan sesuatu yang baru. Sejak tahun 2014 atau 2015 TKDN, Tingkat Komponen Dalam Negeri smartphone khususnya 4G LTE sudah dikampanyekan. Pada tahun 2016 ini, syarat 20% TKDN harus dipenuhi oleh vendor dan akan naik menjadi 30% di tahun 2017 nanti. Hal yang sangat repot adalah bahwa dengan TKDN 20% saja vendor sudah kelimpungan, bagaimana jika dinaikkan menjadi 30% di tahun 2017?

Hal yang perlu kita lihat adalah keinginan pemerintah untuk menyeimbangkan neraca impor smartphone yang beberapa tahun terakhir terus meningkat. Smartphone khususnya dari China membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang sangat murah. Pembuatannya yang 100% di China membuat nilai tambah yang kecil bagi perekonomian secara keseluruhan. 

Untuk itulah, pemerintah memberlakukan TKDN agar impor smartphone ini bisa ditekan karena smartphone tersebut terlebih dahulu harus disertifikasi dan dihitung seberapa banyak komponen lokalnya. Jika tidak sesuai dengan aturan (20% saat ini) smartphone tersebut tidak bisa dijual resmi.

TKDN membuat vendor yang ingin berjualan di Indonesia perlu memikirkan kembali strategi mereka secara keseluruhan. Namun tentu ada yang sangat senang dengan aturan TKDN ini, terutama Samsung dan ASUS yang sudah memiliki pabrik atau tempat perakitan di Indonesia. Bagi vendor yang tidak memiliki pabrik di Indonesia mereka berusaha bekerja sama dengan pabrik yang ada di dalam negeri. Namun tidak semua bisa melakukan hal ini.

Sebagian nama-nama besar seperti Xiaomi dan Apple Inc. tidak akan pernah memiliki keinginan mendirikan pabrik di Indonesia. Selain tidak ada rencana, iklim investasi yang kurang menguntungkan membuat mereka menghapus Indonesia dalam daftar tempat untuk merakit atau membuat perangkat. Hal serupa juga dialami oleh vendor-vendor kecil dari China namun memiliki produk yang menjanjikan seperti Meizu, In Focus, One Plus dan masih banyak merek China lainnya.

Lalu bagaimana vendor yang tidak bisa memenuhi TKDN tersebut tetap bisa berjualan di Indonesia?

Ini bukan isu baru, yaitu melalui black market dengan memberikan garansi toko atau distributor. Tempat jualannya di mana? Melalui e-commerce yang sedang booming di Indonesia dan bahkan secara offline melalui toko fisik di beberapa pusat perbenlanjaan.

iPhone 6S dan 6S Plus yang dirilis pada September 2015 yang lalu sampai hari ini belum dijual resmi di Indonesia. Namun perangkatnya sangat banyak yang menggunakan. Demikian pula dengan Nexus 5X dan Nexus 6P. Sudah sangat banyak yang menggunakan dengan berbagai cara seperti via eBay, Amazon atau black market di e-commerce dengan mengandalkan garansi distributor.

Bukan sesuatu yang baru pula, jika vendor cenderung bermuka dua dalam soal TKDN ini khususnya vendor yang tidak ada dalam daftar perusahaan yang sudah memenuhi TKDN 20% per Januari 2016 yang lalu, yaitu Advan, Haier, Polytron, Acer, Samsung, Oppo, Evercoss, Asus, SPC, Huawei, ZTE, Lenovo, dan Hisense.

Vendor yang tidak memenuhi TKDN 20% ini tetap mau berjualan di Indonesia, tetapi mereka tetap tidak mau meningkatkan komponen lokal karena memang tidak punya atau tidak ingin melakukan hal tersebut. Mereka mengakalinya dengan mengunci koneksi 4G LTE di perangkat mereka (seperti yang dilakukan One Plus di One Plus X) dan menjualnya di koneksi 3G, namun kemudian memberikan clue kepada calon pengguna bahwa kunci tersebut bisa dibuka dengan mudah dan tidak menghilangkan garansi produk. Perlu juga dilihat bahwa Huawei yang per Januari 2016 sudah masuk dalam daftar TKDN 20%, ternyata sampai hari ini belum bisa menjual secara resmi Nexus 6P yang sidah dirilis beberapa bulan yang lalu. Alasannya sama, yaitu soal TKDN. 

Cara lain adalah dengan menjual perangkat 4G LTE yang tidak lulus TKDN tersebut melalui e-commerce. Tentunya bukan vendor tersebut yang langsung menjual, tetapi melalui beberapa orang yang mereka pasok barangnya, sering juga merupakan pemain besar dalam pasar ponsel di Indonesia.

Ini sesuatu yang sangat disayangkan. Sesuai aturan TKDN adalah sesuatu yang mutlak bagi vendor untuk bisa berjualan handset di Indonesia secara resmi. Sayangnya, pemerintah juga tidak konsisten dengan aturan yang mereka buat sendiri. Banyaknya smartphone 4G LTE black market dengan garansi distributor di e-commerce adalah bukti bahwa pemerintah juga tidak punya cukup keberanian untuk melaksanakan TKDN seratus persen karena yang memasukkan barang tersebut tentu punya modal besar yang berarti bukan orang kebanyakan dan ini bisa diatasi jika pemerintah bisa membenahi diri mereka sendiri terutama kepabeanan.

Di sisi pengguna, saya kira TKDN ini sementara ini akan membuat mereka berpikir apakah menunggu barang resmi atau membeli di e-commerce (sejatinya barang black market) dengan risiko garansi yang hanya ada di distributor. Namun kecenderungan yang saya lihat, demam smartphone baru lebih tinggi sehingga pengguna cenderung sudah sangat senang dengan garansi distributor tersebut. Bukti bahwa banyak smartphone 4G LTE terbaru yang baru beberapa waktu dirilis di China atau di AS sudah beredar di Indonesia  menandakan bahwa pengguna tidak terlalu peduli apakah smartphone itu resmi atau black market.

Dengan kecenderungan tersebut, sudah seharusnya pemerintah bukan hanya memaksa vendor memenuhi TKDN 20% dan 30% di tahun 2017. Pemerintah harus punya solusi yang bisa diterima vendor sehingga mereka bisa berjualan secara resmi. Kalau tidak, kucing-kucingan akan selalu terjadi antara pemerintah dengan vendor yang bisa melakukan berbagai taktik akal bulus agar tetap bisa berjualan di Indonesia.

Solusinya tentu saja tidak harus mendirikan pabrik baru di Indonesia. Jikapun melalui investasi baru, sudah seharusnya pemerintah membenahi iklim investasi yang kalah jauh dibandingkan negara lain. Pemerintah sehendaknya mendorong vendor untuk bekerja sama dengan pabrik yang sudah ada dan memiliki kapasitas untuk hal tersebut. Sayangnya, sungguh sayang, kendala sumber daya manusia yang setara dengan yang di China mungkin belum bisa terpenuhi sehingga bisa dikatakan ini lingkaran setan TKDN.

Kalau sudah seperti itu, kita tak bisa berharap dalam waktu dekat akan banyak vendor yang mampu memenuhi TKDN, jangankan 30%, 20% saja mungkin tidak akan bertambah. Jadinya, akan selalu terjadi permainan antara tikus dengan kucing. Vendor akan menggunakan taktik dan memberikan keleluasaan di segi garansi selagi pengguna mau membeli handset. Pemerintah akan tetap berkoar tentang TKDN, kadang untuk melaksanakan peraturan, kadang cuma untuk menakut-nakuti. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya