Update: Bagaimana Start Up Memanfaatkan Publik sebagai Penekan Kebijakan

Topik start up tidak habis-habisnya dibahas di berbagai media, terutama media online. Start up keren seperti Xiaomi, misalnya memperoleh liputan yang sangat luas terkait ekspansi mereka di tahun 2014. Namun, beberapa waktu terakhir terlihat mulai kendur dan ekspektasi pengapalan smartphone mereka meleset. 

Namun saya tidak akan membahas Xiaomi, tetapi Uber, sebuah start up yang mendisrupsi industri transportasi khususnya taksi (meskipun tidak mau disebut taksi melainkan ride sharing (??)). 

Sejenak ke belakang, Uber secara resmi berdiri dengan nama UberCab di tahun 2009 yang lalu dan mulai memberikan layanan pertama kali di San Fransico di tahun 2010. Uber sangat cepat berkembang dan terus memperoleh modal dari investor hingga menjadi start up paling bernilai di dunia dengan nilai 51 miliar dollar per Agustus yang lalu.

Perkembangan cepat Uber tidak lain dilatarbelakangi oleh kemudahan untuk memperoleh jasanya, yaitu melalui aplikasi di smartphone. Uber pun merekrut banyak driver dengan persyaratan tertentu sehingga bisa memenuhi permintaan layanan yang terus meningkat. Uber terus berekspansi, misalnya ke India dan Indonesia. Namun tidak semua berjalan dengan mulus.

Di Prancis misalnya, Uber didemo pengemudi taksi dan aksi mereka menjurus ke perusakan. Uber bisa dikatakan sangat ditentang di Prancis. Lalu kemudian di Jerman, Uber terpaksa menghentikan layanannya di dua kota karena masalah perizinan. Di India misalnya, pengemudi Uber memperkosa penumpangnya sehingga harus mendekam di penjara.

Ada yang menarik tentang Uber di Indonesia. Sepengetahuan saya sebagai pengguna layanan transportasi publik, setiap layanan angkutan publik/umum di Indonesia ditandai oleh plat warna kuning. Saya rasa sangat banyak syarat yang harus dipenuhi agar bisa menjadi moda transportasi umum/publik di Indonesia. Hal ini juga terkait dengan administrasi seperti perizinan dan tentu saja uang yang sering di Indonesia berkali-kali lipat jumlahnya dari yang ditetapkan agar dapat izin trayek.

Uber sebagai taksi hitam (pribadi) tentu tidak sesuai dengan izin tersebut. Mereka merupakan pemilik kendaraan yang menyewakan kursi mereka kepada siapapun yang meminta layanan mereka melalui aplikasi. Secara rule, Uber mendisrupsi aturan yang sangat umum di Indonesia tentang keharusan memiliki izin trayek atau berlaku sebagai angkutan publik.

Nyatanya, Uber tetap bisa beroperasi di Indonesia, terutama dua kota utama, yaitu Jakarta dan Bandung di mana kelas menengah yang memiliki pendapatan lebih dan ingin memperoleh layanan ekstra atau sekadar mengikuti trend kekinian mencoba layanan Uber. 

Tentu saja saya tidak tahu persis seberapa banyak pengguna layanan Uber di Jakarta dan Bandung. Namun, satu hal, ketidakcocokan soal perizinan membuat Uber hampir selalu terjaring razia yang diadakan polisi atau pihak terkait lainnya. Di timeline Twitter, cukup banyak foto yang menunjukkan bahwa pengemudi Uber ditilang polisi. Saya rasa alasannya tidak lain soal perizinan tersebut.

Sampai satu peristiwa di mana pengemudi Uber ditangkap polisi di Jakarta dan Bandung. Penangkapan ini merupakan langkah berikutnya dari pembuat aturan, yaitu Gubernur DKI dan Walikota Bandung karena Uber memang tidak memiliki izin untuk memberikan layanan ke publik. Uber tentu saja tidak tinggal diam dan membela pengemudi tersebut. Caranya adalah dengan membuat petisi di Change agar publik ikut menekan polisi agar membebaskan pengemudi Uber tersebut.

Isi Petisi Uber selengkapnya adalah sebagai berikut:

Pada hari Sabtu, 12 September, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya dan Dinas Perhubungan (DISHUB) membentuk Satgas dengan tugas menangkap pengemudi yang menggunakan aplikasi Uber dan menahan kendaraan mereka.

Pengemudi ini memiliki tanggungan keluarga dan biaya yang harus dibayar. Jika berhasil, Satgas akan membuat 6000+ pengemudi kehilangan pekerjaan dan membatasi pilihanmu untuk berkendara disekitar kota. Kota-kota di seluruh dunia menikmati ride-sharing sebagai cara mengatasi kekurangan pada transportasi publik, mengurangi kemacetan, dan menyambungkan daerah yang sulit dijangkau. Inilah manfaat yang dirasakan masyarakat di lebih dari 300 kota di dunia.

Bantu pastikan Uber memiliki rumah yang permanen di Indonesia dengan memberitahukan Ahok bahwa:

- Pengguna menyukai Uber karena aman, terpercaya dan terjangkau
- Pengemudi menyukai Uber karena bisa mendapatkan penghasilan lebih, fleksibilitas tinggi (jadi boss sendiri) dan peningkatan keamanan di perjalanan dengan adanya sistem cashless/non-tunai
-Banyak kota menyukai Uber karena Uber memberikan tumpangan kepada masyarakat dan pendatang saat diperlukan, memberikan tumpangan ditempat yang umumnya kurang terjangkau, meningkatkan keamanan dan menurunkan macet dan polusi dengan mengurangi jumlah mobil di jalan


Tegakan pilihanmu di Indonesia dan tanda tangan petisi ini. Biarkan suaramu didengar! #Uber4Indonesia

Terdapat satu kejanggalan di dalam petisi tersebut, yaitu memanfaatkan publik untuk jadi alat penekan agar Uber dapat beroperasi di Jakarta dan Bandung. Ini semacam pembalikan logika karena pada dasarnya ada aturan yang mewajibkan adanya izin untuk memberikan layanan di transportasi publik.

Aturan ini meskipun bisa dikritisi bisa menimbulkan korupsi dan kongkalikong, tetapi tetap harus dipenuhi setiap layanan yang ingin memberikan layanan transportasi publik. Saya rasa ketidakmampuan Uber mengurus izin operasi dibebankan ke publik agar menekan pihak terkait untuk membuat mereka bisa beroperasi. 

Harus diakui bahwa start up seperti Uber memberikan pilihan lebih banyak dalam moda transportasi. Harus diakui pula sangat banyak pengguna tertolong dan merasakan manfaat Uber sebagai moda transportasi alternatif dan yang trendy. Namun ini tidak bisa menghapuskan kewajiban Uber untuk mengurus perizinan dan menyesuaikan dengan aturan yang ada yang juga dikenakan kepada penyedia jasa transportasi publik lainnya.

Seperti dikemukakan Uber di dalam petisi mereka, di negara lain Uber memberikan manfaat yang tidak sedikit. Mengurangi macet bisa menjadi salah satu keuntung Uber di Jakarta, namun transportasi publik lainnya juga berfungsi hampir sama dengan Uber sehingga hal tersebut tidaklah istimewa. Sementara transportasi publik lainnya harus memiliki izin, Uber bisa beroperasi tanpa izin. Ini menimbulkan kesenjangan dan mendisrupsi aturan sekaligus pasar. Hal ini akan menimbulkan benturan jika terus dibiarkan.

Saya rasa harus tidak ada kekecualian untuk Uber meskipun layanan ini menganggap mereka berbeda dari layanan taksi yang umum. Pengalaman di Prancis dan di Jerman menjadi pelajaran, banyak pihak yang tidak nyaman dengan kehadiran Uber. Demo besar-besaran menetang Uber pelajaran penting bahwa start up tidak seharusnya mengindahkan aturan transportasi publik. Di Jerman, tepatnya di dua kota Uber terpaksa keluar karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan aturan yang ada.

Petisi di atas yang menyatakan Pengguna menyukai Uber karena aman, terpercaya dan terjangkau juga perlu dikritisi karena beberapa peristiwa di negara lain, pengemudi Uber menjadikan penumpangnya sebagai sasaran kejahatan. Letak amannya belum teruji sebab belum memperoleh izin sehingga pihak pemerintah tidak bisa mengaudit Uber.

Saya rasa start up seperti Uber dan start up lainnya yang terhalang aturan yang ada harus berhenti memanfaatkan hype publik yang tinggi terhadap mereka untuk menjadikannya pembenaran beroperasi tanpa izin yang sah sebagaimana diatur pemerintah. Memang ini tidak mudah, namun akan lebih bagus nantinya jika Uber dan start up beroperasi dengan izin yang jelas. 

Rule is Rule ..

Update:

Per Tanggal 18 Desember 2015, Menteri  Perhubungan mengeluarkan surat pelarangan beroperasi bagi GoJek, Grab Bike dan ojek online yang sejenis. Alasannya sebagaimana dikutip dari detik:


... pelarangan tersebut murni karena pertimbangan safety atau keselamatan transportasi. Untuk kasus seperti Go-Jek dan ojek sejenis, Barata menyebut perusahaan ojek online yang sedang menjamur sudah memproklamirkan sebagai angkutan penumpang.
Padahal roda dua tidak termasuk sebagai angkutan penumpang karena kendaraan roda dua dinilai paling rawan dari sisi keamanan. 
"Go-Jek Cs sudah memproklamirkan sebagai angkutan penumpang. Padahal dalam UU LLAJ, jelas disebutkan kendaraan roda dua tidak masuk ke dalam angkutan penumpang. Jadi dia tidak boleh dipakai untuk transaksi atau berbayar," ucap Barata.

Menanggapi pelarangan itu, publik  melalui Netizen merilis Petisi Online yang bisa dilihat di link ini.

Comments

Popular posts from this blog

Bisnis Jual-Beli Organ Tubuh Manusia

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium