Radikalisasi di Internet

Internet telah membuat masalah baru yang makin sulit dicari penyelesainnya. Sifat borderless dari internet telah membuat pembuat kebijakan, mereka yang ingin merelokasi isu dan membatasi informasi kepayahan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, internet kini menjadi lahan subur bagi disinformasi, diskriminasi dan radikalisasi. Hal ini menjadi perhatian utama dalan sebuah Focus Group Discussion yang dilaksanakan oleh ICDW dan ICT Watch hari Jumat (7/8)  yang lalu.

Dalam tiga tahun terakhir fenomena radikalisasi (terutama) di internet terus meningkat. Hal itu diungkapkan oleh Savic Ali. Situs-situs penebar kebencian sangat leluasa berkampanye dan merekrut anggota baru tanpa henti. Sementara itu, dari pihak pemerintah terlihat terlalu gamang untuk mengambil tindakan hukum dan seperti membiarkan hal tersebut terus berlangsung.

Tentunya bukan hanya radikalisasi. Pelaku disinformasi dan diskriminasi juga sangat banyak, terutama di media sosial. Mereka yang mengedit foto untuk kepentingan kelompok mereka dan menyudutkan pihak lain, leluasa memposting Hoax tanpa khawatir di penjara atau bahkan sekadar dilaporkan. 

Diskrimansi terhadap ras minoritas tertentu, menjadi-jadi dan tak malu-malu lagi diumumkan di media sosial. Ancaman bunuh atau usir mungkin sudah terlalu biasa kita lihat.

Fenomena Disinformasi, Diskriminasi dan Radikalisasi tersebut terus meningkat seiring dilaksanakannya Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden di tahun 2014 yang lalu. Umpatan kebencian, ancaman pengusiran dan bahkan pembunuhan sudah hal yang biasa dilihat. Meskipun fokus ada di internet, namun peristiwa Obor Rakyat memperlihatkan bahwa radikalisasi tersebut ternyata dikampanyekan juga secara offline dengan mencetak tabloid. 

Sebagian orang melihat bahwa disinformasi, diskriminasi dan radikalisasi tersebut merupakan fenomena sesaat karena adanya Pemilu dan Pilpres. Anggapan tersebut buyar karena hampir setahun sesudah Pemilu dan Pilpres disinformasi, diskriminasi dan radikalisasi tak kunjung menurun malah makin terus meningkat. Kita bisa membuktikan bahwa mereka yang kalah (merasa kalah) tetap tidak bisa move on dari isu-isu radikal, hoax dan segala macam bentuk diskriminasi.

Hal yang sulit adalah bahwa kampanye disinformasi, diskriminasi dan radikalisasi ini lebih terasa di pemegang mayoritas, yaitu Islam atau setidaknya mereka yang mengaku beragama Islam. Adalah sulit bagi akal kita, Islam yang sangat menghargai akhlak dan kelemah-lembutan, bisa tampil sedemikian ganas di media sosial dengan corong orang-orang yang mengaku memeluk Islam. Adalah di luar akal, pemeluk Islam bisa begitu rasis dan bisa menghalalkan darah orang lain.

Ujungnya adalah pada bulan April yang lalu sebanyak 22 situs disangka sebagai situs radikal ditutup oleh pemerintah, meskipun kemudian dibuka kembali. Peristiwa ini menandai sebuah langkah pemerintah yang mungkin tidak biasa karena melakukan pemblokiran situs. Reaksi tentu saja bermacam-macam, namun yang perlu ditelusuri adalah bahwa di antara situs-situs tersebut memang ada yang bersembunyi dibalik nama besar Islam untuk terus mengampanyekan radikalisme.

Ada semacam teori bahwa disinformasi, diskrimanasi dan radikalisasi ini adalah sebuah grand design dari pihak yang tidak menyenangi adanya ketenteraman di Indonesia. Ini bisa saja sebuah argumen yang benar, namun tentu perlu dilihat lebih dalam untuk mencari bukti keterlibatan pihak-pihak asing. 

Namun saya lebih condong pada teori bahwa internet telah digunakan secara membabi-buta untuk menyebarkan paham radikal. Internet digunakan untuk menunjukkan supremasi satu pihak atas pihak lain hanya karena pihak yang ingin meraih supremasi tersebut merasa lebih berhak untuk berkuasa. Sifat tanpa batas internet dan bekerjanya algoritma layanan di internet memperparah kondisi tersebut karena mereka yang radikal bisa dengan sangat cepat merekrut anggota, hampir tanpa biaya dan usaha.

Pada akhirnya konten yang salah, konten diskriminasi dan konten radikal sedemikian banyak beredar. Impotensi hukum membuat konten tersebut leluasa menyeberang dari satu ranah ke ranah lain. 

Tentu mereka yang tidak setuju dan masih memiliki akal sehat melakukan perlawanan. Namun sejauh ini, mereka cenderung bekerja sendiri-sendiri tanpa ada satu grand design arah dan tujuan.

Seperti yang diuraikan Savic Ali dalam diskusi tersebut, situs-situs yang mencoba meredam berkembangnya paham radikal menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat. Namun ada kelemahan situs tersebut, yaitu mereka terlalu seragam, kampanye yang terbatas dan traffic yang kalah jauh dibandingkan situs radikal.

Pemerintahpun melalui BNPT mulai mengampanyekan Portal Damai. Melakukan roadshow ke berbagai tempat untuk mengajak memperbanyak konten damai melalui ajakan persuasif. Akan tetapi, kekhawatiran bahwa usaha tersebut tidak cukup serius tetap ada. Dan lagi apa yang dilakukan lebih condong case by case, bukan sesuatu yang secara besar didesain, didanai dan dikerjakan oleh mereka yang turut melakukan perlawanan terhadap (terutama) radikalisme di internet.

Upaya pemerintah juga seharusnya mulai dengan menegakkan hukum. Beberapa pasal di Undang-Undang Informasi Elektronik (UU ITE) dapat digunakan untuk menjerat mereka yang melakukan berbagai tindakan disinformasi dan diskriminasi di internet, sedangkan yang melakukan ancaman (mungkin) bisa dijerat dengan hukum Pidana.

Hal ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan bagi mereka yang menjadi sasaran fitnah, menggunakan tangan negara (melalui UU) untuk memenjarakan mereka yang radikal masih dipandang sebagai usaha yang "terlalu berlebihan".  Kekhawatiran iklim kebebasan berekspresi digerus oleh penerapan berbagai undang-undang menjadi momok yang menakutkan.

Namun tentu usaha meredam disinformasi, diskriminasi dan radikalisasi harus tetap diupayakan, terutama dari negara. Upaya penutupan situs tanpa memberikan jera bagi yang menyelenggarakan situs adalah suatu usaha sia-sia. Pemerintah perlu melihat lebih jauh, bahwa memberangus situs radikal mungkin pilihan sulit yang harus dilakukan. Keseriusan pemerintah dalam menegakkan hukum patut dipertanyakan jika selalu saja, situs-situs yang ditutup lebih condong sebagai shock therapy

Dalam kasus pemblokiran 22 situs terlihat bahwa pemerintah tidak punya kriteria yang jelas. Pemerintah melalui Kominfo sepertinya berpikir "blokir dulu pikir kemudian" sehingga hal ini malah menimbulkan back fire. Pemerintah tidak siap menangani reaksi dari mereka yang anti pemblokiran dan bahkan mereka yang pro pemblokiran pun menyayangkan bahwa tidak adanya suatu dialog tentang penapisan.

Hal seperti ini cenderung membuat kampanye kebencian di internet cenderung terus meningkat karena tidak adanya landasan yang cukup masuk akal, apalagi hal ini terkait dengan suatu agama besar di Indonesia yang bisa saja disalahgunakan demi kepentingan kelompok tertentu.

Belajar dari hal ini, disinformasi, diskriminasi dan radikalisasi sudah seharusnya ditangani lebih serius. Menyediakan payung hukum, penegakan hukum yang lebih jelas bisa menjadi alat serius untuk membendungnya. Namun jangan lupa kampanye konten positif yang persuasif serta memetakan kekuatan mereka yang mendukung kebebasan berbicara tanpa harus meniadakan, melecehkan dan melakukan diskriminasi terhadap orang lain. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Perang Twitter Versus Instagram