Mengapa Anda atau #MahmudAbas Tidak Perlu Ikut-ikutan Kampanye #HariPertamaSekolah

Mungkin kampanye hari pertama sekolah
tak begitu penting bagi mereka
Sudah beberapa hari ini lini masa saya penuh dengan kampanye mengantar anak ke sekolah di hari pertama sekolah. Sungguh saya merasa bahwa kampanye seperti ini bertujuan sangatbaik, terutama bagi sang anak yang mulai mengenal lingkungan baru setelah lingkungan keluarga mereka.

Saya ingat waktu anak sulung saya pertama kali memasuki sekolah TK dan SD saya tak pernah mengantarnya di hari pertama sekolah (Ayah macam apa saya ini). Namun saya terkadang berurai air mata melihat rapor anak sulung saya itu yang tak pernah kurang bagus.

Mengantar anak ke sekolah di hari pertama sekolah adalah tugas istri saya. Mungkin demikian juga dengan suami-suami lain yang sudah memiliki anak usia masuk sekolah dan membuat sekolah penuh dengan ibu-ibu muda yang berdandan begitu rapi jali dan wangi melebihi anak yang mereka antar sehingga satpam sekolah yang paling menyeramkan sekalipun akan mencium wangi mereka dari jarak sekian meter.

Demikianlah ibu-ibu muda ini yang sering baru memiliki satu anak dan sering juga mengatur kelahiran anak mereka sedemikian bagusnya meskipun tidak perlu ikut akseptor KB di zaman orde baru, bergerombol di sekolah dan menampilkan pemandangan yang begitu menggoda. 

Mereka ini sering disebut MahmudAbas atau biasa dipanjangkan dengan Mamah Muda Anak Baru Satu (padahal tak melulu baru satu, intinya mereka ini mama-mama muda). Oleh karena mama-mama ini masihlah sangat muda dan punya peri penghidupan yang rata-rata lebih baik, mereka akan tampil heboh di sekolah. Dandanan yang padu padan, tas bermerek, mobil, smartphone atau tablet merupakan prasyarat yang perlu dipenuhi. Mereka pasti punya akun media sosial terutama Facebook dan Instagram dan bagi yang lebih advanced punya Twitter. Layanan BBM, WhatsApp dan Path terkadang juga sering digunakan oleh mereka. 

Kedekatan mama muda anak baru satu dengan perangkat teknologi seperti smartphone bukan suatu yang diragukan lagi. Anda bisa membuktikannya dengan melihat sekian banyak foto selfie atau wefie mereka di Facebook dan Instagram sehingga mereka merupakan pasar yang empuk untuk suatu kampanye, tak terkecuali kampanye Hari Pertama Sekolah.

Dan sesungguhnyalah bukan hanya mamah muda anak baru satu yang ikut kampanye hari pertama sekolah tersebut. Banyak juga bapak-bapak sadar atau tidak, dengan skenario atau menjadi buzzer pak menteri (eh) ikutan kampanye hari pertama sekolah tersebut. 

Sekali lagi saya katakan ini sesuatu yang baik. Namun adakalanya sesuatu yang dikira akan menghasilkan hal yang baik justru menghasilkan risiko yang tak diperkiarakan sebelumnya. Hal ini karena terkait dengan keamanan data. Banyak orang yang ikutan kampanye hari pertama sekolah tersebut mungkin tidak memperhitungkan risiko sehingga justru membahayakan anak anak mereka sendiri. Mereka bisa dikatakan sangat nyaman men-tag lokasi sekolah anak dan membaginya di media sosial, mengupload foto selfie atau foto close up anak (atau bersama anak) dan menyebutkan nama lengkap anak mereka.

Ini sesuatu yang berbahaya karena trend kejahatan saat ini telah bergeser dari kejahatan offline kekejahatan online atau paling tidak mengandalkan data gratis online untuk melakukan kejahatan offline. 

Media sosial adalah tambang data gratis yang sangat banyak dimanfaatkan penjahat. Hal ini karena kemudahan menemukan “sesuatu” di media sosial dibandingkan dengan buku kuning daftar telepon. Banyak pengguna media sosial yang karena kenyamanan yang diberikan media sosial tersebut mengabaikan risiko. Mereka dengan senang hati mengupload foto anak, foto sekolah anak, lokasi sekolah anak dan bahkan nama lengkap anak mereka. Data-data ini merupakan makanan empuk penjahat, terutama predator seksual anak. Akibatnya kampanye yang diharapkan positif tersebut malah berujung pemberian data gratis sekian banyak anak kepada predator seksual anak.

Pertanyaannya tentu saja mengapa hal tersebut terjadi? Mengapa kampanye bertujuan baik tidak selalu menghasilkan hal yang baik, malah berujung risiko dan menarik perhatian banyak predator seksual anak?

Tidak lain adalah karena rendahnya literasi penggunaan teknologi terutama smartphone. Harus diakui sangat banyak orang tua yang mampu membeli perangkat smartphone atau tablet yang mahal, tetapi terlalu sedikit yang memahami terlebih dahulu risiko memiliki gadget canggih dan mahal tersebut. Banyak orang tua yang paham melindungi anak mereka secara offline, namun lalai terhadap perlindungan online yang justru kini menjadi hal yang sama pentingnya dengan perlindungan offline.

Yang melakukan kampanyepun terkadang terlalu bernafsu kampanye mereka tersebut berhasil dengan alasan tertentu sehingga melupakan prasyarat dan mungkin semacam panduan bagi siapa saja yang mengikuti kampanye yang terkait dengan anak di internet/media sosial. Akibatnya mungkin tidak bisa segera kita perkirakan, namun sejauh ini kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak terus meningkat jumlahnya dan predator seksual anak terus berdatangan ke negara yang awareness -nya terhadap perlindungan data sangat lemah seperti Indonesia.  

Kita harus mengakui, kampanye terkait anak di internet sangat berisiko, terutama karena anak-anak tidak bisa membela diri mereka dari kesalahan orang dewasa yang di luar kendali mereka seperti me-tweet foto atau upload foto mereka. Anak-anak adalah kaum lemah bahkan ketika mereka berada di dekat orang tua mereka sendiri. Ketika awareness perlindungan terhadap mereka sedemikian rendah, apalagi yang bisa kita harapkan selain mereka menjadi makanan empuk para predator?

Artikel ini mungkin  berlebihan. Mungkin seperti sebuah ketakutan tanpa dasar yang jelas, tetapi siapapun harus mengakui bahwa mamah muda anak baru satu itu suatu fakta tak terbantahkan (:D).

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya