Ketika Peluang Jadi Walikota Menipis Gara-gara Twitter

Twiiter( Sumber: bt.com)
Tersebutlah dalam beberapa hari ini seorang kandidat yang akan berlaga di Pilkada Serentak pada bulan Desember 2015 yang akan datang tiba-tiba menjadi pembicaraan banyak pengguna Twitter. Bukan karena ia sudah curi start melakukan kampanye, tetapi beberapa tweet masa lalu yang cenderung bernada kasar, memojokkan dan (kata orang) rasis.

Nama kandidat ini tentu sudah tidak asing bagi banyak pengguna Twitter karena semenjak sebelum Pilpres sudah lalu lalang di lini masa. Anda pasti kenal dengan calon Walikota ini. Bagi saya yang tidak mem-follow-nya di Twitter, hanya beberapa kali melintas di timeline. Namun saya kadang tentu mengklik profilnya dan melihat beberapa tweetnya, yang ketika itu tidak saya perhatikan dengan saksama.

Namun beberapa hari terakhir screen shot tweetnya bertebaran di timeline terutama mengkritisi sang presiden dengan bahasa yang (mungkin) kurang elok untuk ukuran seorang cendekia, pembicara, ahli ekonomi dan banyak keahlian lainnya yang dimilikinya.

Setelah screen shot tersebut bermunculan di timeline, akunnya dikunci. Saat sebelum dikunci sekilas saya melihat sekitar 31.200 tweet yang ia cuitkan selama ada di Twitter. Namun setelah dikunci, tinggal sekitar 30.000 - an tweet. Ini artinya ketika akunnya dikunci, ia berusaha menghapus masa lalu yang diwakili oleh tweetnya tersebut yang terlanjur jadi sejarah di internet.

Saya tidak mengkritisi tweet-tweet yang dipandang banyak pengguna tidak elok tersebut. Saya mencoba memberikan analisis mengapa interaksi kita di media sosial cenderung membuat kita lupa diri sehingga menjadi tidak awas terhadap risiko yang mungkin muncul di masa depan yang akan merugikan diri sendiri. Mengapa interaksi manusia dengan mesin (teknologi) cenderung melalaikan manusia terhadap risiko.

Media sosial dibangun di atas pondasi yang terlebih dahulu lebih maju, yaitu internet. Satu hal yang harus kita pahami tentang internet adalah adanya kekekalan informasi. Hal ini karena adanya proses penjaringan informasi yang secara terus-menerus yang dilakukan oleh mesin, terutama mesin Google. Banyak orang mengatakan bahwa jika anda sudah melontarkan informasi di internet, informasi tersebut tidak bisa lagi ditarik. Namun informasi tersebut bisa dihapus, tetapi tidak sepenuhnya terhapus.

Dengan adanya kekekalan informasi di internet, pengguna seharusnya sadar bahwa internet bukanlah tempat yang bagus untuk melakukan umpatan, sikap rasis dan berbagai macam sifat jelek lainnya karena sekali hal itu dilakukan, informasinya akan abadi di internet. Pengetahuan kekekalan informasi internet ini seharusnya mendorong pengguna berlaku lebih hati-hati ketika berinteraksi di internet.

Kemudian media sosial. Media sosial seperti Twitter memberikan keleluasaan dan kenyamanan bagi pengguna, hampir tanpa batas. Meskipun Twitter secara terang-terangan tidak menyetujui tweet rasis, bullying, kasar dan umpatan, namun hal tersebut bisa dilakukan oleh pengguna sepanjang tidak dilaporkan oleh pengguna lainnya. Kalaupun dilaporkan risikonya cukup kecil mengingat Twitter pun cukup khawatir kehilangan pengguna yang cukup punya nama dan membawa banyak percakapan ke Twitter.

Berbeda dengan media sosial lainnya, Twitter adalah media sosial yang sangat terbuka kepada publik. Satu-satunya cara mengurangi akses orang lain terhadap pengguna tertentu adalah dengan mengunci akun yang berakibat sangat tidak mengenakkan bagi banyak orang karena sedemikian terbatasnya hal yang bisa dilakukan. Hal ini berakibat, siapapun pengguna Twitter dapat stalking akun siapapun di Twitter tanpa perlu menjadi follower.

Tidak ada proses approve teman selama akun Anda tidak dikunci di Twitter. Hal ini membuat siapa saja dapat mencari Anda di Twitter dan menemukan apapun yang pernah anda lakukan. Dengan keterbukaan begitu besar kepada publik sudah seharusnya pengguna Twitter berhati-hati terhadap apa yang dicuitkan. Apalagi bagi seorang yang memiliki pendidikan sangat baik, ia kan berpikir tidak hari ini saja, mungkin jauh ke depan, 3 sampai 5 tahun mendatang.

Twitter bisa dikatakan sangat nyaman. Media 140 karakter ini bisa dikatakan sangat mudah digunakan. Hal ini mendorong pengguna untuk melakukan tweet apa saja sekehendak hati. Pengguna cenderung kurang awas terhadap apa yang akan terjadi nanti setelah tweet tersebut menjadi milik umum karena penafisiran tweet bukan lagi kuasa dari yang melakukan tweet, tetapi publik yang menerima atau membaca tweet tersebut sehingga pengertiannya akan berbeda dari yang diharapkan oleh pengguna. 

Tentu saja bukan hanya di Twitter hal tersebut terjadi. Sebagian besar media sosial oleh karena kondisi yang nyaman yang disediakannya membuat pengguna melupakan risiko. Risiko tersebut pada akhirnya melahirkan penyesalan. Hal ini dibuktikan oleh data yang tweetkan @Nukman :


Penyesalan pertama terkait dengan terlihat bodoh. Ini bisa saja seorang pengguna yang cukup banyak latar pendidikan dan kecakapan yang baik, ternyata melakukan kesalahan sehingga ia terlihat bodoh dengan kesalahan yang ia lakukan tersebut. Saya rasa dalam kasus calon walikota tersebut sedikit ada unsur terlihat bodoh karena sudah semestinyalah orang pintar dikendalikan akal pikiran, bukan emosi yang meluap-luap. Seorang cendekia akan selalu memikirkan tiga langkah di depan dibandingkan dengan memperturutkan hawa nafsunya.

Namun coba kita lihat penyesalan ketiga, yaitu I made a comment in the heat of the moment and I may have offended many people. Kata kunci yang bisa kita tarik di sini adalah offended many people. Ketika seseorang menyerang dengan tweet, seseorang yang cukup populer, tidak hanya di online tetapi juga di offline seperti Presiden dan Gubernur, itu artinya ia menyerang sekian banyak orang, mungkin seluruh pendukung kedua orang yang diserang tersebut.

Serangan ini menghasilkan efek berlipat ganda yang mungkin tidak akan hilang dengan mudah. Mengapa demikian?

Pertama adalah internet dan kemudian media sosial adalah dunia tanpa batasan. Yang akan mengomentari atau melakukan screen shot tweet bukan hanya orang yang akan memilih di daerah pemilihan tertentu, tetapi siapapun yang bersimpati dengan isu, siapapun yang merasa bahwa isu tersebut perlu diangkat sedemikian rupa. Mereka akan melakukan tweet balasan, paling tidak akan berkomentar dan menautkan komentar tersebut dengan peristiwa dengan berbagai cara, salah satunya dengan tagar agar mudah ditemukan. Cara-cara seperti ini akan membuat peristiwa yang terjadi di media sosial seperti Twitter menjadikan informasi mudah ditemukan, percakapan dengan cepat terlihat dan ujungnya adalah sulitnya menghapus jejak peristiwa tersebut karena sudah terhubung sedemikian rupa.

Kedua adalah  ketuk tular. Suatu isu tertentu di internet akan sangat mudah menyebar dengan adanya ketuk tular ini. Jadi akan sia-sia melakukan penghadangan atau relokasi isu terkait dengan kesalahan yang dilakukan. Mengunci akun dan menghapus tweet bukan sebuah cara yang bijak untuk menghadapi kesalahan yang sudah dilakukan. Hal ini malah cenderung membuat anggapan negatif. Pesan kesalahan akan sangat cepat menyebar, tidak hanya ke media sosial, seperti Facebook, Path, dan lainnya, tetapi juga di percakapan pribadi semacam chatting WhatsApp, Line KakaoTalk dan BBM. 

Akibatnya kesan yang ditimbulkan sedemikian jelek karena perulangan dan kait-mengkait informasi dalam berbagai macam platform yang sangat sulit dikendalikan. Hal yang bisa dilakukan hanyalah menerima dampak kesalahan tersebut.

Bila kita selidiki lebih jauh, sebenarnya kesalahan calon walikota tersebut bisa dikatakan sepele karena toh sangat banyak akun lainnya di media sosial yang lebih kasar dalam melakukan tweet dan kadang cenderung menghina. Namun terdapat perbedaan mencolok, yaitu mereka yang melakukan tweet kasar tersebut tidak maju dalam Pilkada dan bukan tokoh yang dikenal publik. Dengan kondisi seperti ini mereka hampir tanpa risiko apalagi kadang lebih sering menggunakan akun anonim. Namun ketika tweet serangan tersebut dilakukan oleh tokoh publik yang nantinya (jika terpilih) menjadi bawahan orang yang diserang sebelumnya, tentu saja ada risiko besar. Apalagi akun yang digunakan adalah akun resmi dan sekaligus digunakan menarik massa untuk memilih dirinya nanti di Pilkada.

Itulah pentingnya dalam bermedia sosial selalu memperhitungkan risiko dibandingkan kenyamanan dan banyaknya RT, komentar atau favorit yang diperoleh. Dalam bermedia sosial sikap bahwa Anda tidak akan tahu apa akibat tweet yang dilakukan haruslah selalu menjadi yang utama. Apalagi sebenarnya kualifikasi Anda adalah seorang cendekia.

Pertanyaan berikutnya apakah hal ini memengaruhi keterpilihan?

Saya tidak berani menjawab. Banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut. Namun ada satu hal yang bisa dilakukan jika kita melakukan kesalahan, yaitu pertama meminta maaf. Kedua mengakui adanya kesalahan tersebut dan ketiga membuka kembali akun yang dikunci tersebut. 

Saya rasa untuk keterpilihan di Pilkada (mungkin) media sosial belum terlalu diperhitungkan. Namun, kesalahan tersebut akan menjadi catatan banyak orang sehingga akan mendorong preferensi mereka. Apalagi jika kubu lawan bisa mengelola isu ini dengan baik dan membawanya ke ranah offline.


Disclaimer: Analisis asal-asalan ini tidak ditujukan untuk memojokkan, lebih kepada melihat interaksi manusia di Twitter dan media sosial umumnya bisa menguntungkan sekaligus merugikan.

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya