Manusia Kekinian Dibodohi Algoritma

..... news-filtering algorithms narrow what we know, surrounding us in information that tends to support what we already believe (Eli Pariser)
Manusia di zaman mesin dipengaruhi oleh seberapa baik algoritma mesin bekerja. Judul artikel ini mungkin keterlaluan dan hanya akan membelalakkan mata sekejap untuk kembali ke kondisi semula, yaitu tidak peduli. Namun kenyataannya, kita hidup di zaman algoritma bekerja, entah itu Google, Twitter, Facebook, Apple, entah apalagi, sebut saja.

Sebagian besar pengalaman internet kita dirangkai dengan sangat baik oleh algoritma yang dibuat oleh berbagai layanan yang kita pakai. Jikalah Anda pengguna setia Google seperti saya, pengalaman internet saya sebagian besar rely on Google. Apa yang saya baca, apa yang disarankan oleh Google untuk saya baca, tempat yang saya kunjungi dan jadwal-jadwal meeting (sesekali saya lakukan) diingatkan sangat baik oleh Google.

Contohlah salah satu layanan Google yang hampir setiap saat saya gunakan, yaitu Google Plus. Google dengan sangat baik merekomendasikan teman mana yang sesuai dengan minat saya. Bacaan tentang smartphone mana yang bagus untuk saya baca. Tentu saja, saya punya kekuasaan untuk mendiamkan apa yang disarankan Google meskipun saya sebenarnya menyukainya dan berminat untuk membacanya. Tidak jarang juga apa yang disarankan Google tersebut sedemikian tepaynya sehingga saya pun mengoleksinya. 

Lama-kelamaan algoritma itu membentuk sebuah perilaku yang sadar atau tidak memberikan suatu ketetapan tentang apa yang Anda percayai. Saya cenderung percaya bahwa Google memiliki bisnis yang lebih baik dibandingkan Facebook. Saya percaya bahwa Android adalah sistem operasi smartphone yang bagus. Saya percaya ini dan itu berdasarkan pengalaman apa yang saya alami dan teman-teman di jalur pertemanan yang saya bentuk di internet.

Demikian juga Anda. Apa yang Anda alami di internet, iklan apa yang anda lihat hari ini telah disesuaikan dengan apa yang Anda sukai, meskipun hal tersebut bukanlah ukuran untuk melakukan pembelian saat itu juga.

Di Facebook misalnya, algoritma Facebook telah merancang dan menghadirkan apa yang Anda sukai, apa yang disukai teman Anda dan segala macamnya. Bila Anda berteman dengan sebagian besar orang sealiran, maka berita yang mampir ke wall Anda tidak pernah lepas dari aliran Anda tersebut. Algoritma Facebook membuat Anda percaya bahwa yang Anda percayai benar karena memang hanya itu yang Anda lihat. Ketika bertemu dengan orang yang berbeda aliran jelas terjadi sengketa karena:

algorithms narrow what we know, surrounding us in information that tends to support what we already believe.

Fenomena selanjutnya yang muncul adalah fenomena banyaknya katak di bawah tempurung yang merasa tempurung di atas kepalanya merupakan satu-satunya langit di dunia. Dan oleh karena langit dari tempurung tersebut sekian waktu, sekian tahun ia pelototi, ia percaya bahwa warna langit adalah hitam dan tidak ada langit lagi setelah itu. Namun ketika ada orang iseng menendang tempurung tersebut, ia tahu sudah bahwa langit (mungkin) terkadang berwarna biru. Namun ia tidak siap menerima kenyataan tersebut dan berusaha selalu menyangkal dan membenarkan pendapat apa yang selama ini algoritma telah berikan kepadanya.

Mungkin itu semacam pembodohan yang korbannya secara sadar mau dibodohi. Padahal manusia zaman kekinian sangat merdeka dan memiliki beragam pilihan untuk menjauh dari algoritma berbagai layanan yang ada.

Ini artinya meskipun mesin bisa bekerja untuk Anda, Google bisa menghadirkan pengetahuan apa pun yang Anda minati hanya dengan mengetikkannya di search bar, kekuasaan tetap ada di tangan pengguna. Meskipun Facebook bisa memperkuat aliran politik yang Anda yakini dengan segala macam berita, namun Anda tetap bisa belajar kepada orang lain dan menengok-nengok tetangga untuk belajar. Sayangnya manusia memang cenderung lebih suka kemudahan daripada kesulitan. Belajar adalah hal yang sulit, sementara masa bodoh adalah yang biasa.

Manusia kekinian sangat bergantung kepada mesin yang di dalamnya algoritma bekerja. Kita sebenarnya, manusia kekinian ini harus mengakui bahwa separuh dari diri kita ini sudah menjadi robot. Kita bisa sangat otomatis mengerjakan sesuatu, meskipun kita punya rasa lelah yang tidak dimiliki oleh robot.

Algortima telah membentuk diri kita, mempertegas apa yang kita percayai benar dan cenderung membuat kita merasa yang paling benar. Lingkungan perkawanan di internet telah dieksploitasi oleh algoritma untuk membuat kita menari-nari hanya di sekitar lingkungan perkawanan tersebut. Kita cenderung menyukai apa yang disukai teman dan sering sangat cepat berpendapat sesuatu jelek hanya karena teman jalur pertemanan kita mengatakan hal tersebut jelek.

Dan ini mungkin baru setengah jalan. Di masa depan, seluruh kehidupan manusia mungkin akan dimasuki oleh algoritma. Pemerintah akan mengatur masyarakat dengan komputer. Apa yang baik dan tidak baik tergantung keputusan algoritma. Hidup akan bubar, manusia hanyalah robot bernyawa.

Bacaan Rujukan: Eli Pariser

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Bisnis Jual-Beli Organ Tubuh Manusia

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium