Twitter Tak Butuh 280 Karakter
Twitter merupakan media sosial dalam kategori Hidup Segan Mati Tak Mau. Berbeda dengan Facebook yang digunakan hampir 2,2 miliar penduduk bumi, Twitter cukup bahagia karena bisa digunakan sekitar 300 jutaan pengguna saja. Berbeda dengan Google Plus yang juga bisa dikategorikan ke dalam kategori yang sama, Twitter lebih crowded dan bising.
Sudah sejak lama Twitter disibukkan oleh permasalahan mereka sendiri. Media sosial ini dari semula abai terhadap aturan yang mereka buat sendiri. Mereka menjunjung tinggi free speech sehingga tak mau repot dan tak mau disibukkan oleh ekses yang timbul dari free speech yang dipakai secara kebablasan oleh penggunanya sendiri.
Free speech yang diagungkan secara berlebihan oleh Twitter tersebut memakan banyak pengguna dan bahkan Twitter itu sendiri. Santer terdengar bahwa cukup banyak pihak yang ingin mengakuisisi layanan Twitter, satu-satunya layanan berbasis Tweet dan tidak ada pesaing dekat yang mampu mengusik. Namun mereka mundur teratur karena tingginya tingkat penyalahgunaan layanan di Twitter, termasuk harassment, bullying, ancaman dan lainnya.
Twitter's dedication to free speech has turned it into a breeding ground for harassment. pic.twitter.com/A5awvS9LC6— Vox (@voxdotcom) November 11, 2017
Karena tidak kunjung laku, Twitter tentu berupaya memperbaiki diri. Memberikan layanan lebih baik bagi penggunanya, menegakkan aturan dan terutama menjadikan layanan Twitter lebih mudah digunakan oleh orang kebanyakan.
Salah satu upaya Twitter terbaru adalah meningkatkan jumlah karakter yang bisa di-tweet-kan pengguna dua kali lipat, dari sebelumnya 140 (link, foto @ handle tidak dihitung) menjadi 280 karakter. Uji coba sudah dilakukan sejak bulan September yang lalu dan sudah resmi bisa digunakan oleh semua pengguna di awal bulan November ini.
Namun persoalan di Twitter bukanlah kekurangan karakter untuk di-tweet. Dengan memberikan 280 karakter Twitter sebenarnya ingin bersembunyi dari tanggung jawab mereka karena mengagungkan free speech. Untuk membuktikan hal ini saya mencoba melakukan polling di Twitter (meskipun legitimasi polling di Twitter tentu tak sebaik polling lainnya) yang diikuti lebih dari 1200 pengguna. Hasil polling tersebut adalah sebagai berikut:
Hasil polling di Twitter |
Hasil polling tersebut menunjukkan bahwa banyaknya akun palsu merupakan masalah penting yang harus diselesaikan Twitter daripada menambah jumlah karakter menjadi 280. Keberadaan akun palsu, baik yang menyamar menjadi orang tertentu atau bot cukup meresahkan di Twitter. Mereka biasanya anonim dan bersembunyi dibalik nama tertentu dan ada yang sengaja diternakkan untuk diperjualbelikan.
Urutan kedua yang butuh perhatian serius dari Twitter adalah Hate Speech dan Hoax. Ini persoalan serius yang terus menghantui Twitter karena memang tidak ditangani sejak semula. Free speech kebablasan yang dianut Twitter membuat hate speech tak terbendung. Sementara hoax merupakan persoalan lama, namun dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan disinformasi yang juga kurang diperhatikan oleh Twitter.
Saya rasa, meskipun polling tersebut hanya diikuti seribuan voters, namun jelas terlihat penambahan karakter tweet bukan sesuatu yang sangat dibutuhkan. Persoalan Twitter bukanlah kekurangan tweet, justru dengan 140 karakter sangat banyak inovasi yang dilakukan pengguna (meskipun kadang tak nyambung dengan kaidah berbahasa yang baik dan benar).
Sudah cukup lama Twitter bersembunyi dan tidak mau bertanggung jawab atas ekses layanan mereka. Bahkan ketika mereka mengajak penggunanya untuk melaporkan pelanggaran layanan yang terjadi, mereka terlalu tinggi hati untuk memperbaiki kesalahan dan membiarkan hal tersebut berlarut-larut demi statistik pengguna yang lebih baik, seperti banyaknya RT, komentar dan engagement. Apa salahnya Twitter lebih responsif, lebih mau melaksanakan keputusan yang mereka buat sendiri tanpa banyak memikirkan efek terhadap jumlah pengguna misalnya dengan menghapus akun yang dilaporkan yang sudah diakui sendiri oleh Twitter melakukan pelanggaran TOS.
Memang ada usaha Twitter untuk memperbaiki layanannya, namun usaha ini cenderung tidak serius, tidak langsung diterapkan dan terlalu memakan waktu sehingga layanan Twitter terus-menerus dibombardir oleh hate speech, misalnya. Belum lagi satu masalah selesai datang lagi masalah lain, misalnya soal centang biru yang semena-mena diberikan kepada anggota neoNazi.
Jelas terlihat layanan Twitter hidup segan mati tak mau. Hidup segan karena tak ada upaya menyeluruh untuk memperbaiki layanan, sementara mati pun bukan pilihan karena ada potensi pendapatan yang diharapkan. Malah membuat kebijakan baru yang jauh dari permasalahan yang ada. Yang diharapkan pengguna jauh sekali dengan apa yang diberikan Twitter.
Sudahlah .....
Comments
Post a Comment