Ketika Hidup di Zaman Algoritma

Apa barang yang baru saja Anda beli di Lazada atau di Amazon? Coba perhatikan, suggested items yang ditawarkan oleh Lazada atau Amazon. Rasanya penawaran tersebut kok pas yah. Sepertinya mereka tahu apa yang ada di pikiran Anda.

Coba sesekali lihat suggested friends yang ditawarkan oleh Facebook atau Twitter. Lihat profil mereka, kok sepertinya mirip dengan profil Anda? Coba perhatikan berita yang mampir ke newsfeed Anda di Facebook. Hampir semua berita tersebut kok menarik dan sesuai dengan selera Anda.

Apa yang Anda beli, siapa yang Anda temui di internet, dengan siapa Anda kencan, berita apa yang mampir ke wall Anda sudah dikurasi dengan baik sesuai dengan selera Anda oleh Algoritma layanan yang Anda pakai. Bahkan jika pada akhirnya Anda menikah oleh karena menggunakan sebuah layanan di internet, calon pasangan Anda tersebut ternyata sudah dikurasi oleh algoritma.

Sepertinya Algoritma tersebut penjelmaan dari apa yang Anda sukai. Tentu saja. Misalnya ketika Anda mengisi profil di Facebook, di mana Anda lahir, bulan dan tahun, siapa saja saudara Anda, di mana Anda tinggal, hobi, sekolah dari TK hingga perguruan tinggi, agama dan berbagai profil lainnya yang Anda isikan akan menjadi modal dasar bagi Algoritma untuk memberikan layanan terbaik bagi Anda. 

Profil tersebut merupakan sinyal-sinyal penting yang dikemudian dikumpulkan secara terus-menerus dan dikembangkan seiring pengguna menggunakan layanan Facebook. Dari profil tersebut, Facebook akan menawarkan beberapa orang yang terkait dengan beberapa item dari profil Anda sendiri, misalnya satu universitas, satu asal kelahiran, beberapa berita yang Anda suka dan mungkin grup atau pimpinan agama yang perlu Anda ikuti karena melihat profil agama dan apa yang Anda postingkan di Facebook, entah itu foto maupun teks. Facebook juga akan merekam apa yang Anda katakan di chatting, menampilkan informasi terkait dengan apa yang Anda bicarakan di chatting tersebut seterusnya demikian sehingga Anda akan berada di bawah pengaruh algoritma yang dirancang unik untuk Anda sendiri. Layanan lain pun sama saja, jadi ini tidak terbatas kepada Facebook.

Efek dari algoritma tersebut tentu saja membuat pandangan Anda terbatas. Apa yang anda baca terbatas pada apa yang Anda sukai, dan tidak mungkin algoritma Facebook menawarkan sesuatu yang tidak Anda suka.
The ubiquity of incredibly powerful algorithms designed to reinforce our interests also ensures that we see little of what’s new, different and unfamiliar.
Hal ini membuat pengguna hidup dalam kebenarannya sendiri. Mereka menyangka bahwa merekalah yang benar, yang lain salah. Algoritma juga akan secara terus-menerus memperkuat pandangan politik yang sebelumnya telah Anda tunjukkan, mempersempit pandangan politik tersebut ke orang-orang yang sealiran, seide dan seterusnya. Ujungnya pengguna akan bermain di sekitar lingkaran pertemanan yang sudah dibentuk oleh algoritma untuknya sehingga ia secara tidak sadar akan menjadi pengikut yang siap sedia bila dibutuhkan.

Efek Algoritma yang terlihat adalah setiap orang akan hidup dalam pandangan yang berbeda-beda dalam satu daerah atau negara tertentu atau terjadinya polarisasi. Setiap orang memiliki kebenaran sendiri atau kelompok tertentu yang cenderung tertutup terhadap orang atau kelompok lain. Bila sudah seperti ini, orang-orang akan cenderung menutup diri dari fakta lain. Tidak peduli mereka memiliki pendidikan tinggi, memiliki gelar bagus atau jabatan, mereka hanya peduli kebenaran yang selama ini sudah disodorkan algoritma kepadanya sehingga tidak aneh bila kita lihat orang-orang terpelajar ikut demonstrasi karena suatu isu yang pemicunya tidak jelas, namun kemudian dibelokkan oleh algoritma agar sesuai selera mereka.

Apa yang ditawarkan oleh algoritma ini bertentangan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang menunjukkan:
Open-mindedness improves our sense of wellbeing and leads to better decisions
Algoritma membuat orang makin tertutup. Mereka tertutup oleh kebenaran mereka sendiri dan bayangkan jika jumlahnya sangat banyak, apa yang akan terjadi?
By limiting ourselves to certain news organisations and certain pundits, our curated analyses of current events begin to look spectacularly different to those of others with different outlooks and life experiences.
Kita bisa melihat penggalangan aksi demonstrasi beberapa waktu lalu. Tentu kita bertanya mengapa mereka bisa ikut berdemo membela sesuatu yang sebenarnya belum tentu harus dibela karena masih dalam tahap perdebatan?

Efek lain dari algoritma ini adalah lahirnya para pengguna yang pendek sumbunya. Ini bukan sesuatu yang aneh karena mereka sebelumnya, sekian lama dijejali oleh kebenaran versi algoritma. Kita banyak melihat banyak orang yang cepat sekali terbakar atau meledak karena suatu berita tertentu yang menyudutkan kepercayaan mereka selama ini. Mereka tidak lagi mau mengecek kebenaran berita atau foto tertentu yang mereka terima. Lebih parah lagi adalah mereka menerima hal-hal yang sesuai dengan selera mereka tanpa peduli apakah hal tersebut palsu atau sengaja dipalsukan. Dengan kondisi seperti ini dan makin banyak orang seperti ini tidak heran kondisi media sosial terutama Facebook sangat panas.


Pada akhirnya kondisi tersebut akan terlihat di dunia nyata. Bila Anda melihat dua demonstrasi besar di tahun 2016 yang lalu, saya percaya sebagian besar mereka memiliki hubungan pertemanan di Facebook atau media sosial atau aplikasi perpesanan. Tidak peduli apakah orang tersebut pintar apalagi kalau hanya tamatan SD, mereka sudah terbakar duluan oleh berbagai pengkodisian oleh algoritma. Mereka akan dengan mudah memasang status di Facebook yang mengancam nyawa orang lain dengan alasan membela sesuatu. Mereka pikir itu sebuah hal yang biasa dan sudah semestinya karena sesuai dengan kebenaran mereka sendiri karena menurut mereka benar adanya. Ini sesuatu yang ekstrim dan jauh sekali dari perkiraan pembuat algoritma layanan seperti Facebook.


Pertanyaannya adalah apakah algoritma ini bisa dihindari? Tentu saja! Bila Anda seperti saya, Anda bisa memilih tidak menggunakan layanan tertentu, seperti Facebook atau Instagram. Namun sebagian orang ingin tetap menggunakan Facebook atau layanan lain yang mereka sukai, tetapi tidak mau terbawa algoritmanya. Ini sesuatu yang sulit. Bagaimanapun algoritma tidak sepenuhnya jelek, namun jika Anda Anda terlalu banyak membuka diri kepada algoritma, ia akan semakin baik menunjukkan apa yang akan Anda lakukan di layanan.


Itu artinya, Anda harus berhemat dengan profil Anda. Buatlah profil sangat sederhana, tidak perlu ada agama (terutama) karena isu agama merupakan isu sensitif yang bisa membuat Anda bersumbu pendek. Kalau bisa tentu saja menjadi Anonim. Selain itu, Anda harus melakukan kurasi sendiri terhadap apa yang disuguhkan algoritma, misalnya sebuah berita tertentu. Bacalah berita tersebut secara tuntas, baca juga berita lain yang senada, cek foto, cek sumber berita dan jangan asal menyetujui teman yang diajukan oleh algoritma agar tidak termakan algoritma. Hal yang lebih penting adalah berhemat berbagi karena dari apa yang Anda bagi Algoritma akan memberikan jawaban yang lebih banyak untuk kesenangan Anda.


Baca Juga: Algorithms are making us small-minded

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Bisnis Jual-Beli Organ Tubuh Manusia

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium