Menilik Rancangan Peraturan Menkominfo tentang Penyediaan Layanan Aplikasi/OTT

Setelah lama dipertanyakan oleh operator terkait kegiatan layanan Over The Top (OTT) di Indonesia, sejak minggu lalu, Menkominfo telah merilis rancangan aturan yang akan memayungi layanan OTT di Indonesia. Rancangan aturan tersebut kini sedang dalam tahap konsultasi publik sehingga diharapkan ada masukan dari publik demi perbaikan (dapat didownload Di Sini). 

Dalam melihat aturan ini, saya tentu bukanlah ahli, hanya pengguna biasa. Bagi saya sendiri rancangan aturan ini perlu dikritisi dari berbagai segi, terutama terkait dengan layanan OTT yang hampir sebagian besar (99%) berasal dari luar atau asing. Saya melihat ada kecenderungan di rancangan aturan ini terkait dengan sesuatu yang disebut lokalisasi. 

Layanan OTT merupakan sebuah kemustian di mana saat ini karena melalui aplikasi pengguna bisa menikmati layanan. Dengan berkembangnya era smartphone, pengguna tidak lagi harus mencari sendiri layanan yang disukainya, tetapi disediakan oleh sebuah atau beberapa pasar aplikasi sesuai dengan sistem operasi smartphone. Kita melihat perkembangan aplikasi ini sangat cepat dan nilai ekonominya semakin hari semakin besar. Aplikasi-aplikasi bagus kini bisa mendulang ribuan dollar dalam sebulan.  

Sebagai bukti kita bisa melihat aplikasi Facebook. Pada kuartal pertama tahun 2016 ini Facebook memperoleh pendapatan sekitar 5 miliar dollar lebih di mana sebagian besar dari pendapatan tersebut berasal dari aplikasi mobile mereka di Android. Tentu, sebagai negara yang di mana aplikasi Facebook ini digunakan, setidaknya Indonesia bisa memungut sedikit dari pendapatan tersebut. 

Beberapa hal yang patut dikritisi dari rancangan aturan tersebut saya sebutkan berikut ini.

1. Definisi Jasa Telekomunikasi

Dalam rancangan aturan Menkominfo yang dimaksud dengan jasa telekomunikasi adalah:
layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan 
menggunakan jaringan telekomunikasi.
Bagi saya definisi ini agak membingungkan karena tidak menyebutkan apakah jasa tersebut dibayar atau gratis. Apabila kita telusuri, bisa disimpulkan definisi jasa telekomunikasi tersebut sesuai dengan yang ada di Wikipedia yang merujuk kepada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.  

Padahal jasa telekomunikasi tersebut bukan sesuatu yang didapat dengan gratis sehingga definisi yang dikemukakan oleh  Federal Communications Commission mungkin lebih mendekati:
the offering of telecommunications for a fee directly to the public, or to such classes of users as to be effectively available directly to the public, regardless of the facilities used
2. Kewajiban OTT berbentuk BUT

Kewajiban menjadi Bentuk Usaha Tetap bagi pelaku OTT mungkin sebuah hal yang cukup berat. Rancangan aturan tersebut menyatakan:
Layanan OTT dapat disediakan oleh penyedia layanan OTT asing dengan ketentuan wajib menjadi Bentuk Usaha Tetap, yang selanjutnya disebut BUT, di Indonesia.
Kewajiban menjadi BUT ini terkait dengan isu perpajakan. Sebagaimana disebut dalam undang-undang perpajakan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Nantinya Bentuk Usaha Tetap ini akan terkait dengan Pajak Penghasilan Pasal 26. Tentu kita harus memahami sisi perpajakan ini sebelum melihat lebih jauh tentang kewajiban menjadi BUT. 

Dari sisi pengguna tentu akan sangat baik bahwa nantinya layanan OTT seperti WhasApp, Google, Twitter, Facebook diharuskan jadi BUT. Namun pertanyaannya, apakah layanan tersebut mau jadi BUT? Bagaimana kalau mereka tidak mau?

Kewajiban mendaftarkan BUT ke BRTI sebagaimana dinyatakan dalam rancangan peraturan tersebut mungkin sesuatu yang normal, namun apakah OTT tersebut mau mendaftarkan diri. Karena hal ini terkait dengan pajak, apakah OTT akan terbuka dengan pendapatan mereka yang berasal dari Indonesia?

3. Filtering

Secara jelas rancangan peraturan ini menyebutkan bahwa:
Penyedia Layanan OTT wajib melakukan filtering konten dan mekanisme sensor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Sejak beberapa waktu yang lalu masalah filtering merupakan masalah yang rumit. Banyak penyedia layanan OTT yang membuat konten tidak pantas atau konten dewasa. Masalahnya adalah  pemerintah melalui Kominfo tidak menggiatkan usaha-usaha digital literasi dan lebih condong memberikan hukuman dengan penutupan layanan seperti yang dialami oleh Vimeo, Reddit, Imgur dan banyak lainnya.

Kewajiban melakukan sensor bagi penyedia layanan OTT kadang juga bertentangan dengan TOS OTT itu sendiri. Mungkin beberapa OTT secara eksplisit mengatakan bahwa mereka menginjinkan konten dewasa. Ini artinya bertentangan dengan apa yang diinginkan aturan tentang OTT ini yang pada ujungnya akan berakibat diblokirnya layanan. Bahkan Facebook pada kondisi tertentu tidak mempermasalahkan konten dewasa.

Sudah seharusnya filtering atau sensor ini bukan lagi sesuatu yang datang dari atas, tetapi diusahakan dan dikampannyekan dengan kampanye Filter Sendiri (Self Censorship). Caranya tiada lain selain melakukan kampanye digital literasi untuk membuat pengguna bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya di internet.

Penempatan pasal atau ketentuan filtering pada akhirnya akan menjadi rujukan atau justifikasi regulator untuk melakukan pemblokiran layanan OTT.

4. Data Center

Rancangan aturan penyedia layanan OTT ini juga menyebutkan tentang kewajiban menggunakan nomor protokol internet Indonesia dan menempatkan sebagian server dalam pusat data (data center) di Wilayah Negara Republik Indonesia. 

Saya rasa aturan ini mengada-ada mengingat sejak tahun entah kapan, BlackBerry dipaksa membangun data center tetap tidak terlaksana. Apalagi kalau ingin memaksa Google, Facebook, WhatsApp untuk menaruh sebagian data center-nya di Indonesia.

Saya rasa kita harus tetap logis bahwa membangun data center bukan sesuatu yang datang tiba-tiba dan harus direncanakan serta disesuaikan dengan layanan yang akan diberikan. Misalnya, pengguna Facebook di Indonesia sekitar 80 juta. Apakah pengguna sebanyak ini perlu data center tersendiri di Indonesia?

Membangun data center tentu terkait pula dengan capital expenditure OTT. Logisnya, buat apa OTT mendirikan atau menyewa data center tersendiri di Indonesia sementara data center mereka yang terdekat sudah mampu melayani pengguna Indonesia. Jika yang disasar adalah data pengguna Indonesia supaya ditempatkan di Indonesia, saya rasa keharusan menempatkan data center terlalu jauh. Dan lagi jika benar-benar  OTT membangun atau menyewa data center di Indonesia apa kemudahan yang bisa mereka peroleh sementara kebanyakan aturan di malah memperberat kondisi mereka.

5. Penyadapan

Isu penyadapan mengemuka tiga tahun terakhir dan layanan OTT kini bergerak untuk melakukan end to end encryption. Namun rancangan aturan ini sepertinya tidak melihat perkembangan tersebut dengan mewajibkan OTT menjamin akses untuk penyadapan informasi secara sah (lawful interception) dan pengambilan alat bukti untuk keperluan penyidikan atau penyelidikan perkara pidana oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagi saya penyadapan tidak ada yang lawful interception karena ini terkait dengan keamanan dan privasi pengguna sehingga mengatakan ada lawful interception (sepertinya) mengada-ada. Namun coba kita anggap saja hal tersebut ada dan OTT diwajibkan memberikan akses. Saya kira OTT tidak akan pernah memberikannya.

Kasus nyata yang baru-baru ini terjadi di Brazil adalah contoh yang bisa kita pelajari. Otoritas Brazil menginginkan WhatsApp untuk hands over data pengguna yang terkait dengan peredaran obat terlarang. WhatsApp menolak, bukan saja karena tidak memiliki data tersebut tetapi  juga karena mereka menerapkan end to end encryption sehingga hanya user yang bisa melihat pesan.

Lalu apakah nanti WhatsApp akan bernasib sama dengan yang di Brazil? Sekali lagi aturan ini akan berujung pada pemblokiran layanan OTT.

Tentang kewajiban OTT terkait penyerahan data ini pasal 9 rancangan aturan mengatakan:

1. Penyedia Layanan OTT wajib menyimpan data rekaman transaksi dan trafik Layanan OTT paling sedikit 3 (tiga) bulan.2.  Untuk keperluan proses peradilan, penyedia Layanan OTT wajib menyimpan data rekaman yang terkait langsung dengan proses peradilan dimaksud berdasarkan permintaan aparat penegak hukum sampai dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Sekali lagi, tidak hanya OTT, secara lebih umum perangkat pengguna kini telah dilindungi oleh enkripsi sehingga bahkan pembuatnya sendiri seperti Apple tidak bisa masuk untuk mengambil informasi. Hal ini bisa kita lihat pada sengketa Apple Inc. vs FBI.

Dengan adanya pasal di atas saya ragu apa maunya aturan tentang OTT ini.


 6. Kerja sama OTT dengan Penyelenggara Telekomunikasi

Sudah diketahui publik bahwa provider telekomunikasi gerah dengan dengan kemajuan dan pendapatan OTT yang berjalan di atas layanan mereka yang menurut mereka menuai keuntungan lebih besar dan mereka tidak mendapat apa-apa.

Anggapan provider telekomunikasi ini tidak sepenuhnya benar. Untuk bisa menikmati layanan OTT, pengguna membeli data dari provider telekomunikasi. Ini adalah sesuatu yang pasti. Pembelian paket data tentu saja uang masuk bagi provider telekomunikasi. Makin banyak menggunakan layanan OTT, kebutuhan data makin besar dan uang yang masuk ke provider telekomunikasi juga semakin besar. Coba lihat pendapatan provider telekomunikasi plat merah seperti Telkomsel, tidak pernah turun sejak era data dan kemajuan aplikasi.

Lalu provider mengatakan tidak diuntungkan dengan adanya OTT?

Dalam rancangan aturan tersebut ada yang cukup menarik, yaitu opsi 2 yang menyatakan bahwa dalam hal layanan OTT yang disediakan memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, Penyedia Layanan OTT wajib bekerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.

Sementara opsi 3 menyatakan bahwa dalam hal Layanan OTT yang disediakan memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, Penyedia Layanan OTT wajib menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi.

Bagi saya kedua opsi ini bukanlah hal yang baik bagi OTT dan terlalu berpihak ke provider telekomunikasi. Hal ini bisa kita lihat pada contoh WhatsApp, Line dan berbagai layanan OTT lainnya yang memberikan layanan perpesanan dan telepon. Layanan ini identik dan merupakan pengganti layanan yang disediakan operator, yaitu SMS dan telepon. 

Dengan demikian, nantinya WhatsApp dan berbagai OTT lainnya wajib bekerja sama dengan operator atau menjadi operator sendiri. Kedua pilihan ini tidak masuk akal karena untuk dapat menggunakan layanan OTT, pengguna telah membeli data dari operator sehingga ketika mereka menggunakan perpesanan dan calling OTT mereka dikenakan biaya data oleh OTT yang berimbas kepada berkurangnya kuota dari operator (jika berbayar).

Jika nantinya OTT bekerja sama dengan operator, ujungnya adalah pengguna yang akan dikenakan biaya tambahan oleh OTT. Misalnya untuk biaya calling dengan menggunakan LINE, pengguna kini harus membayar lebih karena OTT harus membayar bagian tertentu kepada operator.

Pilihan menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi juga bukan pilihan bagus karena OTT kebanyakan adalah aplikasi sehingga tidak masuk akal bagi OTT untuk menjadi penyelenggara telekomunikasi. Saya rasa aturan ini memperlihatkan kelemahan operator yang tidak mampu bersaing dalam memberikan layanan sehingga memaksakan OTT untuk tunduk dalam aturan pemerintah.

Saya rasa asal rancangan aturan ini jelas untuk memfasilitasi operator yang tidak senang kepada OTT. Aturan ini terlalu menguntungkan operator dan pemerintah sehingga peran OTT dimarginalkan.

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya