Kasus Antitrust Google, Europe (EU) vs Google dari Sisi Pengguna

European Union's competition chief Margrethe Vestager
Kabar Google berseteru dengan European Union via European Commission bukan sesuatu yang baru lagi. Google sudah lama diselidiki oleh EU atas praktiknya terutama dengan sistem operasi Android sehingga ketika EU mengirimkan surat keberatan resmi atas praktik bisnis Google di Android bukan sesuatu yang mengejutkan lagi, meskipun beberapa sisi tetap sesuatu yang agak membingungkan bagi sebagian orang.

Sedikit saya uraikan komplain EU terhadap Google setidaknya ada tiga. Pertama adalah App Bundling. Apps Bundling yang dimaksud di sini adalah aplikasi Google yang ada di perangkat Android. Bila Anda pengguna Android, tentu cukup paham aplikasi apa saja yang wajib di bawa oleh vendor atau produsen Android, antara lain GMail, Google Maps, Google Play (apalagi ya?). Mungkin itu beberapa aplikasi wajib yang harus diikutkan karena menggunakan Android secara resmi dari Google dengan berbagai kesepakatan dengan Google yang mungkin bisa termasuk ke dalam trade secret.

Kedua adalah keharusan menggunakan Google Search sebagai alat pencarian dengan berbagai cara yang digunakan Google, baik finansial maupun nonfinasial agar produsen Android menggunakan search engine Google yang pada ujungnya akan mendatangkan pendapatan bagi Google.

Ketiga larangan produk alternatif. Jika vendor melisensi Android dari Google, vendor tersebut dilarang membuat produk alternatif AOSP. Ini artinya jika satu vendor menggunakan Android resmi dari Google, tidak ada jalan lain kecuali mereka berkomitmen terhadap hal tersebut dengan tidak membuat produk tandingan dengan AOSP.

Bila kita lihat, kasus EU vs Google ini adalah kasus yang rumit dan berbelit. Tidak hanya dari sisi Android sebagai Open Source yang dituding terlalu menguntungkan Google, tetapi juga dari segi lain seperti model bisnis dan pengalaman pengguna yang bisa saja dikorbankan untuk memuaskan pihak tertentu yang mendorong kasus ini.

Bagi saya, sebagai pengguna tentu dilihat dari segi kemudahan dan pengalaman pengguna sehingga kasus tersebut tidak harus pelik dan berbelit. 

Semua masalah di atas dapat dijelaskan dengan premis Android adalah Open Source meskipun sebagian hanya sepakat bahwa Android is partly Open Source. Android AOSP mungkin ini yang dimaksud dengan Open Source, tetapi Android Google (yang sebagian besar digunakan vendor) tidaklah open source. 

Anggapan ini mungkin benar, namun bisa juga salah. Android tidak sepenuhnya open source bisa salah karena pada dasarnya pengguna bisa melakukan apa saja, termasuk mempreteli aplikasi Google dan menggantinya dengan layanan atau pasar aplikasi lain, misalnya Amazon App store dengan mudah. Hal ini dapat dilakukan siapa saja, bahkan vendor yang merilis Android Google (bukan AOSP), di smartphone mereka tetap bisa dihilangkan dari aplikasi Google dengan mudah dan menggantinya dengan aplikasi yang serupa (namun belum tentu memiliki kualitas yang sama) dengan aplikasi Google.

Hal yang lebih membuktikan adalah adanya AOSP. Dengan ini siapapun bisa membuat Android versi mereka sendiri tanpa harus bergantung kepada Google. Ini dibuktikan oleh vendor-vendor China yang karena layanan Google di-block di China mereka membuat pasar aplikasi yang bebas dari Google sehingga Google hampir-hampir tidak memiliki pendapatan dari pengusaan Android di China yang mencapai 90% lebih pasar smartphone.

Dalam pandangan saya sebagai user, apa yang dilakukan Google dengan merilis AOSP dan Google Android adalah pilihan bagus bagi produsen. Jika mereka ingin Google tidak ada dalam smartphone mereka, pilihan AOSP adalah pilihan masuk akal. Namun bagi pengguna hal ini bukan sesuatu yang bagus karena ketiadaan layanan Google membuat mereka sulit untuk menikmati aplikasi yang diuji dan dijamin oleh Google. 

Salah satu hal yang sangat dikhawatirkan pengguna adalah masalah privasi dan keamanan karena AOSP biasanya menghadirkan berbagai aplikasi dari berbagai pasar aplikasi yang belum tentu bisa setara dengan pasar aplikasi Google Play. Hal ini membuat vendor yang memasarkan AOSP seperti di China beralih bergabung dengan Google ketika mereka merilis versi internasional dari smartphone mereka karena hal ini merupakan prasyarat penting agar pengguna bisa menggunakan smartphone tersebut dengan baik.

Saya rasa dari penjelasan ini sudah terlihat bahwa Google yang dari awal sudah sangat baik di sisi software tentu menjadi pilihan banyak vendor Android. Tampaknya EU memandang hal ini sebagai sesuatu yang menguntungkan Google. Dalam pandangan  European Union's competition chief Margrethe Vestager Google abused its market power to restrict competition.

Kita tentu tidak tahu sejauh mana Google memiliki kesepakatan dengan vendor tentang lisensi Android. Namun bila kita lihat poin-poin keberatan EU terhadap Google saya rasa sebagai pengguna poin-poin tersebut sangat mudah untuk dihilangkan dari smartphone/tablet Android. Namun untuk sama sekali tidak menempatkan aplikasi Google di Android saya rasa bukan sesuatu yang mungkin karena Google punya Android dan punya power untuk menekan vendor ketika vendor ingin merilis smartphone berbasis Android berlisensi. Tengoklah misalnya GMail yang menjadi hub untuk Google Play. Jika GMail tidak ada di Android Google (bukan AOSP) tentu layanan Google Play tidak bisa dipakai.

Kedua soal keharusan menggunakan mesin pencari Google. Google melindungi search engine-nya dengan sangat baik, bahkan mengucurkan miliaran dollar agar mesin pencari mereka ada di iOS. Hal ini mungkin juga dilakukan Google terhadap vendor Android. Namun meskipun demikian, di sisi pengguna hal ini dapat diganti dengan mudah karena pasar Google Play menyediakan berbagai pilihan search engine seperti Bing, Duck Duck Go, dan masih banyak lainnya.

Masalahnya adalah bahwa superioritas mesin pencari Google mengalahkan mesin pencari tersebut sehingga pengguna kembali menggunakan Google. Ini bukan sesuatu yang datang tiba-tiba karena Google sudah membangun search engine mereka sejak tahun 1998 sehingga mereka yang datang belakangan kekurangan sumber daya untuk melakukan hal serupa Google sehingga pengguna tidak memiliki pengalaman yang sama ketika menggunakannya. Ini membuat meskipun mesin pencari Google tidak default pun, pengguna akan tetap mencari lalu menggunakannya karena hasil yang lebih baik.

Ketiga masalah larangan vendor merilis AOSP jika melisensi Android Google. Seperti dikemukakan Google larangan ini semata untuk user experience. Ketika vendor diperbolehkan merilis AOSP selain Google Android, pengguna tidak akan memiliki user experience yang sama. Pengguna yang AOSP mungkin senang dengan keharusan menggunakan layanan Google, namun mereka sebenarnya rugi karena aplikasi terbaik justru ada di pasar Google. 

Saya tidak tahu sejauh apa pelarangan ini berakibat bagi kompetisi. Namun bila kita lihat, AOSP tentu aplikasinya tidak disertifikasi oleh Google sehingga pengguna akan memiliki perbedaan pengalaman dan mungkin akan merugikan vendor. 

Sekali lagi dari sisi pengguna, saya rasa keberatan EU itu bisa dihilangkan dengan mudah karena pada dasarnya pengguna memiliki kekuatan maksimal di Android. Namun dari segi bisnis, mungkin EU memiliki pandangan lain sehingga mereka menuduh Google mematikan kompetisi dengan cara terus memperbaiki layanan mereka dengan sumber daya yang hampir tidak terbatas. Saya kira ada hal penting yang perlu kita lihat, yaitu bahwa pejabat EU mungkin tidak menggunakan Android sehingga tidak paham betapa leluasanya pengguna Android.

Jika Android mengusai pasar smartphone, bukan berarti Google perkasa atau memaksa. Google dalam hal ini bisa disetarakan dengan pembuat aplikasi lain, namun karena mereka memiliki keuntungan di  sumber daya mereka lebih baik, namun bukan berarti karena keperkasaannya membuat bisnis lain mati. Contoh nyata yang bisa Anda lihat adalah Facebook. 

Hampir 80% dari pendapatan iklan Facebook adalah dari mobile dan hampir sebagian besar daro 80% tersebut berasal dari aplikasi mereka di Android. Sekarang coba lihat Google Plus. Saya percaya tidak ada pendapatan yang disumbang Google Plus ke Google. Lalu apakah Google melarang aplikasi Facebook dan memaksa pengguna menggunakan Google Plus?

Kasus yang sama bisa kita lihat di beberapa aplikasi bagus lain yang menghasilkan sangat banyak dollar bagi penciptanya. Ini bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba karena Google mengusahakannya dari beberapa tahun yang lalu. Lalu dengan cara apa kira-kira Google mematikan kompetisi?

Dari sisi pengguna saya hampir-hampir tidak mengerti apa yang dimaksud EU dalam keberatan mereka terhadap Google terkait praktik bisnis Google di Android. Jika Google Android menguasai pasar, lalu iOS yang malah tak ada pilihan sama sekali selain pasar aplikasi Apple Inc. apakah tidak mematikan kompetisi? (mungkin beda kasus?).

Saya rasa, kita bisa melihat sejauh mana perkembangan teknologi smartphone sejak adanya Android Google. Bila masih hanya Symbian, windows mobile, blackberry dan iOS yang datang belakangan, akankah perkembangan perangkat mobile sehebat saat ini? Saya bisa memastikan bahwa perkembangan perangkat mobile terutama smartphone tidak akan pernah mencapai seperti sekarang ini.

Android membuat perkembangan perangkat sangat kencang. Semua bisa berkompetisi dengan merilis Android versi mereka sendiri. Jika ingin lebih diterima user, tentu harus melakukan lisensi ke Google dan sangat masuk akal jika Google memberikan syarat tertentu sepanjang tidak merugikan. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya