Algoritma: It's Good To Be Back To Your Self
We were truly slaves to the algorithm.
Kalimat di atas tentu saja bukan hasil olah pikir saya. Kalimat itu berasal dari seorang kurator news Facebook yang bekerja secara kontraktor dengan Facebook. Kurator tersebut tentu saja tidak disebutkan namanya dan ingin tetap anonim karena khawatir adanya backlash.
Sebagaimana diwartakan oleh Gizmodo yang kemudian dibantah oleh Facebook, Facebook melakukan sensor terhadap berita yang terkait dengan pembaca konservatif atau secara jelasnya menyensor berita-berita konservatif seperti Mitt Romney dan lain-lain. Tentu saya tidak akan membahas hal ini di sini. Satu hal yang perlu saya tekankan kepada pembaca adalah bahwa hidup kita kini tidak bisa jauh dari algoritma dan mungkin sedikit berlebih (namun ada kebenaran di sana) kita telah menjadi budak algoritma.
Algoritma seperti pernah saya bahas sebelumnya akan menentukan siapa yang akan Anda follow, berita apa yang akan Anda baca dan pada akhirnya membentuk suatu kebenaran tertentu yang Anda anggap benar. Oleh karena sedemikian seringnya Anda tanpa sadar menggunakan algoritma, seolah-olah sesuatu terjadi seperti apa adanya dan sudah seharusnya seperti itu.
Tidak mengherankan jika Anda kemudian terlibat silang sengkarut terutama di media sosial yang berawal dari apa yang Anda lihat sebagaimana telah ditentukan oleh Algoritma. Contohlah Twitter. Algoritma akan menentukan siapa saja yang layak Anda follow berdasarkan siapa sebelumnya Anda follow. Coba perhatikan screenshot berikut ini.
Screenshot di atas merupakan contoh sederhana. Contoh yang lebih kompleks adalah ketika Anda ikut arus besar atau mainstream di Twitter, misalnya isu tertentu yang sedang ramai, misalnya Pilkada DKI atau dulu Pilpres 2014. Algoritma Twitter dan Facebook akan menawarkan banyak hal kepada Anda terutama orang yang sealiran dan seselera dengan calon yang Anda dukung. Hal berikutnya adalah Anda akan masuk ke lingkaran percakapan, terlibat mention berjamaah dan makin yakin dengan pilihan Anda serta tak segan-segan membantah bahkan dengan cara-cara kurang sopan melawan orang yang berseberangan dengan pilihan Anda. Hal yang sama terjadi di Facebook.
Hal ini akan membuat Anda berada di lingkaran yang sulit sekali untuk keluar. Saya pernah mengalami hal ini ketika Pilpres 2014 sehingga untuk memutus jaring algoritma ini saya berhenti sama sekali dari tweet politik, mute dan block pengguna dan berbagai hal lain sehingga algoritma ini tidak lagi membelenggu saya di Twitter.
Butuh usaha kuat dan waktu yang cukup lama agar saya kembali ke keinginan saya semula ketika mendaftar di Twitter. Perlu saya katakan, minat utama saya bukanlah politik dan saya selalu memposisikan diri sebagai anti mainstream. Saya lebih senang dengan teknologi, sejarah, buku, film dan musik. Namun di tahun 2014 itu rasanya saya ingin menolong sehingga isu di Twitter menjadi lumayan berimbang. Namun ternyata hal tersebut tidak bagus untuk pengalaman keseluruhan saya di Twitter.
Apa yang dapat saya simpulkan dari hal tersebut di atas?
Meskipun algoritma terkesan memasung Anda dengan perilaku yang Anda wujudkan di media sosial, bukan berarti algoritma ini sesuatu yang tetap dan tidak bisa dihindari (menuju pengalaman yang lebih baik). Hal yang perlu Anda lakukan hanyalah kembali ke diri sendiri atau Back To Your Self. Namun hal ini tak semudah menulis atau mengatakannya.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa makin banyak hal yang Anda lakukan di sebuah layanan tertentu media sosial, maka semakin baik algoritma layanan media sosial tersebut melayani Anda. Apa yang Anda Retweet, apa yang anda LIKE, apa yang Anda bagi, apa yang Anda komentari, siapa yang Anda follow atau siapa teman Anda merupakan sinyal-sinyal penting bagi algoritma untuk menentukan apa yang sebaiknya Anda lakukan berikutnya.
Sinyal-sinyal tersebut sekaligus merupakan clue bagi Anda untuk terlepas dari algoritma lama menuju pengalaman baru yang sesuai dengan minat Anda sebenarnya. Anda harus diet Retweet (hanya me-retweet yang sesuai dengan minat), tidak melakukan LIKE sembarangan, pilih-pilih teman dan tweet yang akan dikomentari.
Bagaimana dengan tweet-tweet atau postingan terdahulu dan pengguna yang sudah ada di lingkaran pertemanan?
Ini yang saya lakukan. Saya memutus aliran Algoritma (terutama yang terkait dengan isu mainstream dan politik) dengan berbagai cara. Pertama saya menyusuri tweet-tweet terdahulu hingga sampai dengan dua tiga tahun ke belakang. Caranya adalah dengan melakukan search di Twitter. Setelah menemukan tweet tersebut sebagian besar tweet tersebut saya hapus.
Kedua MUTE, Block, dan Unfollow. Tools ini sangat berguna untuk pengguna agar tidak KEPO untuk berkomentar atau melakukan Retweet. Beberapa akun yang di luar minat saya, terutama yang terkait dengan politik, isu-isu mainstream saya tinggalkan dengan tiga cara tersebut. Hasilnya timeline terlihat lebih bersih dan sangat mencerminkan minat saya semula.
Ketiga diet tweet/posting. Ini agak sulit. Di zaman di mana semua orang bisa melakukan posting atau tweet, tidak ikut terlibat memposting atau mentweet isu yang sedang HOT bukan pilihan yang mudah. Namun agar pengalaman media sosial Anda mencerminkan minat, hal ini perlu Anda lakukan. Disiplin untuk tidak melakukan tweet/posting, tidak berkomentar, tidak melakukan LIKE dan tidak melakukan Retweet adalah cara cepat Anda terbebas dari algoritma yang salah menafsirkan minat Anda semula. Bahkan dalam kondisi tertentu, saya bahkan tidak melakukan RT, LIKE, share atau berkomentar terhadap suatu peristiwa yang sedang HOT meskipun terkait dengan minat saya karena bersinggungan dengan aliran mainstream atau politik.
Saya rasa pengguna media sosial perlu kembali ke diri mereka sendiri. Sejauh yang kita lihat, media sosial di Indonesia, terutama Twitter dan Facebook telah melahirkan banyak pertentangan, isu hoax, caci-maki, ancaman, SARA dan banyak hal negatif lainnya. Kita perlu mengurangi hal tersebut dengan cara kembali ke diri sendiri dan tidak mau terlibat sesuatu yang sebenarnya kita tidak tahu benar atau salahnya.
Baca Juga: Manusia Kekinian Dibodohi Algoritma
Baca Juga: Manusia Kekinian Dibodohi Algoritma
Comments
Post a Comment