Pilkada DKI: Sejarah yang Berulang

Sejarah Berulang, Pertama Sebagai Tragedi, Kedua Sebagai Banyolan (Karl Marx) 


Ingatan ini muncul beberapa waktu yang lalu. Waktu itu Gus Dur hendak mengeluarkan Dekrit seperti Dekrit yang pernah dikeluarkan oleh Soekarno dahulu. Dekrit Soekarno adalah tragedi karena berujung dengan Pemberontakan Partai Komunis, terlepas ditunggangi atau tidak. Sementara Dekrit Gus Dur yang hendak mengulangi sejarah berujung banyolan karena tidak lama kemudian ia diturunkan. 

Dalam lingkup yang lebih kecil, kejadian atau peristiwa di blog kompasiana ini tidak terlepas dari sejarah yang berulang. Berbeda dengan sejarah negeri ini yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terjadinya perulangan sejarah, kompasiana hanya butuh maksimal dua tahun saja untuk terjadinya pengulangan tersebut. Bahkan pada kasus tertentu tidak dalam hitungan tahun, mungkin hanya beberapa bulan saja.  Mungkin ingatan kita telah begitu pendek sehingga kita merasa apa yang terjadi di kompasiana ini seperti hal-hal yang baru saja. 

Coba kita tengok beberapa peristiwa di kompasiana berikut ini. 

1. Polemik sastra instan Saya ingat sekali, di tahun 2010 yang lalu heboh mengenai ini dalam judul yang berbeda. Polemik disulut oleh Mbak Astree Hawa dengan judul Keranjang "Sampah" Fiksi Kompasiana. Kini dalam judul berbeda diangkat kembali oleh Mbak Hilda dengan topik Ketika Produk Sastra Instan Membanjiri Kompasiana. Pada dasarnya intinya sama saja, tapi melihat Mbak Hilda masuk sebagai anggota kompasiana semenjak April 2010 yang lalu, tentunya ia mungkin tahu tentang fiksi sampah yang diangkat oleh Mbak Astree Hawa. Pengetahuan saya yang tidak dalam hanya mampu mengatakan kedua artikel ini mirip. 

2. Tulisan Esek-esek Mengenai hal ini, tahun 2010 yang lalu juga sangat membuat polemik. Esensinya jelas sama, mempertanyakan kepantasan tulisan dewasa menghiasi blog kompasiana ini. Waktu itu saya sendiri berpendapat, tulisan khusus dewasa itu dirindu sekaligus dibenci. Saya menawarkan jika memang kompasiana tidak sanggup membatasi artikel semacam itu, ada baiknya diberikan peringatan bahwa kompasiana merupakan blog khusus bagi mereka dengan usia 18 tahun ke atas. 

3. Kasus Dr. A Kasus ini menyeruak dua tahun yang lalu. Pada dasarnya, awalnya salah seorang pengguna kompasiana hanya menanyakan gelar Dr. A yang berderet seperti gerbong kereta api. Namun akhirnya polemik gelar dokter tersebut merembet juga kepada salah satu pengguna akun dengan nama Olive. Kini, kasus ini kembali terjadi. Pemicunya tulisan pengguna baru kompasiana yang menanyakan apakah artikel yang ditulis itu, terutama yang menjnadi heboh dan dipindah ke kompas.com adalah kejadian nyata atau hanya fiksi belaka. Hal yang menarik adalah ternyata si perawat yang biasa menuliskan artikelnya tersebut dan merebut banyak hati pengguna kompasiana bekerja pada seorang dokter yang persis sama dengan kejadian 2009. Kasus ini bagi saya hanya sebagian kecil dari pengulangan sejarah/kejadian yang luput kita perhatikan. Kemarin pun saya membaca tentang komentar yang sering tidak nyambung dengan artikel, atau out of topic (OOT). 

Semua ini adalah pengulangan lagi dari artikel terdahulu yang kembali menarik banyak perhatian pengguna kompasiana. Benarlah adanya sejarah berulang, tidak peduli kita sadar atau tidak bahkan dalam lingkup kecil blog kompasiana ini. Bagi saya, merujuk kepada Marx, pengulangan sejarah yang terjadi di kompasiana ini (kalau boleh dianggap demikian) pertama mungkin membuat kita berpikir lebih jauh. Mengapa hal-hal yang sama berulang dan sering tidak kita ketahui kita kembali terlibat riuh rendahnya pengulangan sejarah tersebut. Tidakkah ini sesuatu yang mubazir ataukah kita tidak belajar dari kejadian terdahulu? Kembali kepada yang dikatakan Marx, pengulangan sejarah berujung kepada banyolan. Marx bisa salah, dan tentu saja bisa juga benar. Bagi saya Marx benar adanya. 

Pengulangan kejadian atau sejarah tersebut lebih berujung kepada banyolan. Betapa banyak energi yang kita buang percuma hanya untuk menunggu tiadanya klarifikasi dari yang bersangkutan dalam kasus Dr. A atau dari mereka yang merasa bertanggung jawab telah melambungkan seorang remaja innocent di kompasiana ini. Kasus ini tidak lama lagi akan tenggelam, seiring dengan makin pendeknya ingatan kita. Betapa banyak kata kita tulis, saya sendiri merasa, pada awalnya berharap kasus ini akan tuntas. Namun harapan itu tidak akan terkabul sehingga suatu waktu kasus serupa mungkin akan terulang kembali. Mungkin dengan pelaku yang lain, mungkin juga pelaku baru yang meniru pelaku lama sehingga kita harus bersiap-siap lagi untuk sesuatu yang sebenarnya sudah terjadi, namun terjadi lagi di awaktu yang berbeda. 

Mungkin kita lama-lama akan terbiasa sehingga banyolan semakin biasa di kompasiana ini. Demikian juga dengan kasus lainnya. Ujung-ujungnya kita harus bersiap untuk menerima banyolan yang lebih banyak. Kasus artikel dewasa tidak akan selesai dengan hanya mengandalkan kepada penggunanya yang memiliki kuasa untuk mempublikasikan artikel apa pun yang disukainya karena kuasa cenderung korup. Nantinya hal ini akan menjadi polemik lagi di suatu hari, dan kita heran mengapa kita lupa hal ini juga telah terjadi beberapa waktu yang lalu? Tidakkah kita bosan itu-itu saja yang akan kita carikan solusinya? Tidakkah kita belajar ataukah ini yang dimaksud dengan traffic

Demikian pula dengan komentar OOT. Bagi saya terlalu jauh kita mencampuri urusan seseorang jika menilik kepada komentar yang diberikan. Ini hanyalah banyolan yang tidak lucu karena penyedia layanan ini, pengelola kompasiana ini bahkan tidak memiliki standar tertentu tentang komentar. Mengatakan komentar OOT di suatu artikel, dimana pengelolanya sendiri tidak mempermasalahkannya menghabiskan energi, membuat polemik baru yang tidak berguna. 

Saya ingat apa yang dikatakan Goenawan Mohamad sekitar tahun 1990-an tentang sensor. Mengatakan komentar OOT mungkin sebuah bentuk sensor lunak terhadap para komentator. Namun percaya hal tersebut tidaklah akan ada artinya, ibarat membunuh nyamuk dengan celana dalam yang kotor dan bau, mubazir dan agak memalukan. Mungkin saya hidup di dunia lain yang tidak mudah bagi saya untuk mengerti sebuah keriuhan. Kadang saya terlibat di keriuhan itu, kadang saya menjadi pemicu sebuah keriuhan. Setelah saya dalami ternyata saya juga tidak jauh dari banyolan yang tidak lucu.

Dalam lingkup yang lebih besar, kita melihat Pilkada DKI yang segera akan datang, namun genderang perang sudah lebih dulu ditiupkan. Ingat Pilpres 2014? Hampir tidak ada yang berbeda dari Pilpres 2014 apa yang terjadi dengan Pilkada DKI sekarang ini. Kelompok yang pro dan kontra dapat kita telisik ke kelompok yang dulu mendukung dan menentang Jokowi, meskipun tidak sepenuhnya berlaku. Namun khusus bagi mereka yang menentang Ahok, benang merah perlawanan mereka terhadap Jokowi cukup jelas terlihat.

Sekali lagi ini adalah pengulangan sejarah yang sudah semakin tidak lucu dan membuat bodoh. Isu-isu yang diangkat terang benderang antara cinta dan benci, agama, suku, dan hal-hal rasis lainnya khususnya di media sosial dan pers online. Ini bukan politik yang baik, namun kita harus menerimanya karena itulah adanya. Media sosial dan media online telah diselewengkan banyak orang yang berpikiran dan bertujuan pendek agar sesuai dengan tujuan dan target mereka. Tidak ada lagi sopan-santun, semuanya ingin murka. Namun sekali lagi itu hal yang bodoh dan kelucuan yang sudah tidak lagi lucu, tapi menjijikkan. 

Note: Artikel ini dipublikasikan pertama kali tahun 2011 di blog kompasiana, dipindah dan diupdate lagi di blog ini.

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya