Media Sosial Kini Entah Untuk Apa Gunanya
I once sarcastically said that I feel like it is much harder to actually stand up against the mainstream on Twitter than stand up against a dictator.Ingat Revolusi Mesir di tahun 2011 yang dimulai dari sebuah halaman di Facebook? Ingat Wael Ghonim?
Mungkin banyak dari kita yang lupa peristiwa penting yang menumbangkan Hosni Mubarak tersebut. Mungkin kita juga lupa betapa dahsyatnya tenaga media sosial hingga bisa menumbangkan diktator. Namun kini media sosial untuk apa? Apa setelah tumbangnya diktator? Apa setelah menandatangani petisi? Mengapa media sosial justru makin menyesakkan dan tidak lagi berfungsi sebagai tools yang mampu memberikan kaki-kaki lemah semangat untuk berdiri?
Cobalah tengok timeline Twitter hari-hari ini. Apa yang saya kutip dari Wael Ghonim itu bukan sesuatu yang sarkas, namun nyata adanya. Tidak hanya Twitter tentunya. Perhatikanlah Facebook, hampir tidak ada bedanya. Melawan mereka yang mainstream di kedua media sosial besar tersebut tampaknya memang lebih sulit dibandingkan melawan diktator.
Pertanyaannya siapa yang dimaksud dengan mainstream di sini?
Mainstream bisa siapa saja. Dulu ketika Pilpres mainstream adalah pendukung dan pembenci Jokowi. Sekarang mau Pilkada DKI mainstream adalah Ahokers dan Haters-nya. Sulit untuk berhadapan dengan mereka karena seperti yang dikatakan Wael Ghonim :
because at least when I stand up against a dictator I know there are a lot of people who will support me. But when you stand up against the Twitter (Facebook) mainstream, they are just going to all go against you.
Mungkin kita terlalu eforia dengan kegunaan media sosial. Tools yang sebenarnya sangat baik fungsinya ini kini entah untuk apa gunanya kebanyakan hanya untuk menggambarkan masyarakat yang sakit dan orang berjualan.
Kita bisa melihat begitu banyak kata-kata kasar, foto-foto jorok, tweet yang melecehkan, berita palsu yang digembar-gemborkan di media sosial. Lalu kemudian jurnalis yang begitu pemalas mengutip media sosial untuk bahan berita online mereka. Semuanya berkelindan untuk menunjukkan betapa sakitnya (sebagian) masyarakat kita. Melawan mereka ini adalah mustahil. Mereka lebih kuat dibandingkan diktator.
Lalu mengapa hal ini terjadi?
Dasar media sosial seperti yang banyak kita ketahui adalah LIKES, SHARES dan RETWEET. Ini adalah mata uang yang berlaku di media sosial. Seberapa banyak LIKES yang Anda raih dari update status di Facebook? Seberapa banyak yang di-share ulang, seberapa banyak tweet anda di Retweet dan di-LIKES? Betapa bangga banyak yang LIKES, Shares dan Retweet. Makin banyak, makin bangga. Dan jangan lupa profit motive menambah sulit karena segala sesuatunya makin berkelindan, taut-menaut sehingga sulit untuk dibenahi.
Untuk bisa banyak LIKES, Shares, Retweet pengguna kadang tidak malu menunjukkan kebodohannya atau kekayaannya atau pura-pura kaya, pura-pura bodoh atau pura-pura pintar.
Seperti yang dikatakan Ghonim yang terjadi di media sosial sekarang ini adalah:
Instead of constructive dialogue about the way forward, there were bitter flame wars among many groups—sometimes among friends. Rather than uniting to take the country forward, the conversation descended into bickering, propaganda, many false claims, and fear-mongering.
Tentu sebuah hal yang menyedihkan bahwa pada kenyataannya media sosial saat ini malah menyulut kebencian, perang ras dan agama. Ini terjadi sepanjang waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 30 hari sebulan tanpa putus. Apakah ini peran media sosial yang sebenarnya?
Tentu saya tidak percaya. Media sosial sesuatu yang baik yang dibelokkan oleh tangan-tangan nakal untuk tujuan jangka pendek mereka. Namun bukan berarti media sosial nihil kesalahan. Konstruksi media sosial memungkinkan media sosial itu sendiri dibelokkan untuk berbagai tujuan balas dendam atau kebencian.
Padahal kita bisa memperoleh banyak hal positif dari media sosial. Ya. Sangat banyak hal positif dari media sosial.
To be sure, there is no doubt that the Internet (and so social media) actually helps facilitate communication and shows the power of crowdsourcing in positive action, especially when it comes to the humanitarian activities like when there is a hurricane or a terrorist attack. The problem is, however, that the negatives are obvious and not talked about enough.
Masalahnya memang kita sangat sedikit membicarakan dampak negatif media sosial sehingga tidak ada perhatian untuk memperbaiki efek negatif media sosial tersebut. Mungkin kita menganggap tweet kebencian, rasis, berita bohong dan segala macam kepalsuan yang digembar-gemborkan di media sosial itu sesuatu yang biasa. Mungkin kita menganggap setelah tanda tangan petisi semua urusan selesai. Mungkin kita merasa bahwa kita hanya hidup di media sosial. Kita adalah alien yang hidup entah di mana dan tak perlu bertanggung jawab apa-apa.
Mungkin ini yang disebut zombie. Kita kini menjadi zombie yang tak perlu berpikir apa-apa. Siap-siap ditembak oleh siapa saja, toh otakpun sudah tidak ada gunanya.
Comments
Post a Comment