Ke Bengkulu Ngopi Sambil Menikmati Sunset dan Jejak di Fort Marlborough
Welcome to Bengkulu |
Bengkulu cukup dekat dari Jakarta, hanya memakan waktu 50 menit jika menggunakan pesawat terbang dari bandara Sukarno-Hatta ke bandara Fatmawati Sukarno di Bengkulu. Kota Bengkulu berada di depan samudra Indonesia. Cuaca sepertinya cenderung agak panas layaknya kota-kota di pinggir pantai di mana suhu berkisar sekitar 30 derajat celsius.
Kota Bengkulu juga rawan gempa. Dari percakapan dengan supir yang mengantar ke mana-mana di Bengkulu dapat saya simpulkan bahwa masyarakat kota Bengkulu sudah sangat terbiasa dengan gempa sehingga bangunan pun tak ada yang terlalu tinggi. Hotel misalnya, cuma 6 lantai.
Demikianlah pada hari Senin (4/12) saya menjejakkan kaki di Bengkulu. Pertama tentu di bandara Fatmawati Sukarno yang disebut sebagai bandara internasional. Bandara ini cukup bagus, fasilitas lengkap dan tentu tak serumit bandara Sukarno-Hatta. Kalau turun dari pesawat langsung menuju ruang kedatangan dan bisa langsung keluar karena bangunannya cukup kecil dan ringkas.
Keluar dari bandara, hal pertama yang terasa tentu saja lapar. Berhubung tim yang ikut ke Bengkulu ini sudah bosan makan ikan atau kuliner lokal di berbagai daerah, pilihan jatuh ke kuliner Padang. Rumah makan Embun Pagi menyediakan kuliner Minang yang alang-kepalang lengkapnya. Menu makanan dengan santan kental khas Minang disajikan di atas meja panjang dan tak lama kemudian perut pun kenyang. Harga menu makanan di sini sangat bersahabat.
Setelah kenyang perjalanan dilanjutkan menuju hotel. Hotel yang dipilih untuk bermalam dan melakukan berbagai kegiatan selama di Bengkulu adalah Hotel Santika. Hotel ini cukup bagus, punya ruang pertemuan besar dan kamar yang cukup banyak dan hanya 6 lantai.
Setelah beristirahat beberapa menit, tugas pertama datang, yaitu hadir di talk show di sebuah radio lokal di Bengkulu. Radio ini berada di Universitas Bengkulu yang sangat luas.
Setelah siaran di radio, pertanyaan yang muncul mau makan malam di mana? Sekilas saya melihat bahwa sejauh mata memandang ada dua kuliner yang cukup punya nama di Bengkulu, yaitu Palembang dan Minang (Padang). Di banyak tempat sepertinya rumah makan Padang merupakan pilihan banyak orang, di mana ketika kami pertama kali datang di Bengkulu, harus keliling terlebih dahulu untuk bisa menemukan rumah makan Padang yang masih cukup punya persediaan untuk makan di pukul 3 sore. Barulah pada pilihan ketiga, yaitu rumah makan Embun Pagi bisa makan siang, dua rumah makan sebelumnya sold out dagangannya. Beberapa rumah makan Padang dengan menu khas seperti Dendeng Batokok sudah habis sejah jam 12 siang.
Oleh karena telah makan kenyang di sore hari tadi, banyak yang menolak yang makan besar lagi di malam hari. Namun pilihan yang tersedia sedikit karena anggota tim tidak mau lagi kuliner lokal atau ikan laut sehingga pilihan jatuh ke Sate Padang.
Sate Padang Ita Teben namanya. Berada di jalan Cendrawasih, Kota Bengkulu, Sate Padang Ita Teben ini menyajikan sate khas Padang Panjang dengan kuah kuning dan daging sapi yang renyah. Juga tersedia sate ayam yang sebenarnya jarang disediakan sate khas Padang lainnya.
Di Sate Padang Ita Teben ini juga tersedia Teh Telor khas Minang yang cukup enak.
Di hari kedua di Bengkulu, teman dalam tim masih penasaran dengan menu Dendeng Batokok. Hal yang cukup membuat kesal adalah bahwa baru sekitar pukul setengah dua siang, menu Dendeng Batokok ini sudah habis di sebuah restoran Padang yang jadi favorit orang Bengkulu untuk makan siang. Jadilah kami harus memutar untuk mencari menu Dendeng Batokok ini yang akhirnya bisa dinikmati di Rumah Makan Iko Nan 2 di jalan Kapuas Raya.
Rumah makan ini tidaklah wah atau punya gedung yang representatif. Namun menunya cukup banyak, khusus dendeng batokoknya enak.
Hari ketiga di Bengkulu merupakan pengalaman yang mengesankan. Oleh karena padatnya jadwal pekerjaan yang harus diselesaikan selama di Bengkulu, saya hampir tidak bisa libur. Sedih juga hanya bisa lewat di sepanjang Pantai Panjang atau melihat masjid yang dirancang Sukarno atau berbagai bangunan lama peninggalan masa kolonial yang cukup banyak tersebar di Bengkulu.
Untunglah di hari ketiga ini bisa berkunjung ke benteng Fort Marlborough. Fort Marlborough merupakan benteng yang menarik, namun sepertinya tidak begitu diekspos untuk kepentingan wisata sejarah. Bangunan yang dibangun pada tahun 1713 hingga 1719 tersebut.
Sebagaimana benteng lainnya yang dibangun untuk menghadapi serangan dari laut Fort Marlborough berdiri gagah menghadap Samudera Indonesia. Saya tak tahu mengapa sepertinya kurang banyak wisatawan yang berkunjung ke benteng ini. Padahal benteng ini, meskipun dibangun oleh East India Company (Inggris), namun benteng ini juga digunakan oleh Belanda dan Jepang.
Komplek benteng in cukup luas. Kita bisa melihat di kejauhan Samudera Indonesia dengan ombaknya. Ada kantor, penjara dan barak tentara di Fort Marlborough. Meriam Belanda dan Inggris berjajar menghadap Samudera Indonesia. Sebuah tempat wisata sejarah yang sangat menarik untuk dikunjungi.
Setelah puas mengelilingi Fort Marlborough kerongkongan terasa kering. Waktunya minum kopi!
Saya sungguh keterlaluan, ketika ke Manokwari tahun lalu, hari kedua saya telah ngopi dan mencari-cari tempat ngopi yang asyik. Namun di Bengkulu hal yang sama tidak bisa saya lakukan karena jadwal yang sungguh padat dan jauh berbeda ketika ke Manokwari tahun lalu.
Jadilah di hari ketiga saya bersama tim bisa ngopi di sebuah kedai kopi yang sangat asyik di Bengkulu, Barracas Bistro. Pilihan datang ke Barracas Bistro bukan sesuatu yang tiba-tiba. Event Organizer lokal yang melayani saya dan tim selama di Bengkulu memiliki hubungan akrab dengan pendiri bistro ini. Pendirinya meninggal di usia muda dan kedai kopi ini diteruskan oleh adiknya.
Lokasinya yang berada di hadapan Samudera Indonesia merupakan kelebihan Barracas Bistro. Pengunjung dapat menikmati kopi, nongkrong sambil menikmati matahari tenggelem di ufuk barat. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan.
Berbagai macam kopi disediakan di sini berikut makanan yang tentu tak semuanya bisa saya coba. Namun satu hal yang penting dari Barracas Bistro ini adalah tempat nongkrong yang asyik, parkirnya cukup luas dan harganya juga bersahabat. Saya sangat menyarakan Anda bila ke Bengkulu singgah di sini.
Hari ketiga di Bengkulu merupakan hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan. Setelah keliling ke beberapa tempat dan ngopi, hal berikut yang harus dilakukan adalah mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang.
Dari Barracas Bistro kami menuju Jalan Sudirman, di mana sepanjang jalan tersebut sangat banyak toko yang menyediakan oleh-oleh khas Bengkulu, seperti Sirup Kalamansi. Kami memilih masuk ke toko Cita Rasa. Pilihan oleh-olej di sini sangat lengkap, mulai dari barang kerajinan, batik, makanan hingga minuman, kopi dan madu. Harga sepertinya tak begitu mahal. Cita Rasa ini bisa menjadi one stop service untuk oleh-oleh, pelayanannya bagus dan jika membeli dalam jumlah banyak akan dibantu mengemasnya dalam boks khusus.
Hari ketiga di Bengkulu juga berarti malam terakhir tinggal di Bengkulu. Esok hari harus kembali pulang ke Bogor via Cengkareng. Tentu sangat banyak tempat yang tak sempat saya singgahi karena keterbatasan waktu. Namun saya bisa simpulkan Bengkulu sangat layak untuk dikunjungi. Pemerintah daerah seharusnya melakukan perbaikan di banyak sisi, misalnya infrastruktur jalan yang kurang mulus, bahkan di kota Bengkulu. Khusus untuk wisata, Pemerintah Daerah Bengkulu perlu promosi. Mereka perlu memperkenalkan potensi wisata Bengkulu lebih giat lagi.
Adios Bengkulu!
Demikianlah pada hari Senin (4/12) saya menjejakkan kaki di Bengkulu. Pertama tentu di bandara Fatmawati Sukarno yang disebut sebagai bandara internasional. Bandara ini cukup bagus, fasilitas lengkap dan tentu tak serumit bandara Sukarno-Hatta. Kalau turun dari pesawat langsung menuju ruang kedatangan dan bisa langsung keluar karena bangunannya cukup kecil dan ringkas.
Keluar dari bandara, hal pertama yang terasa tentu saja lapar. Berhubung tim yang ikut ke Bengkulu ini sudah bosan makan ikan atau kuliner lokal di berbagai daerah, pilihan jatuh ke kuliner Padang. Rumah makan Embun Pagi menyediakan kuliner Minang yang alang-kepalang lengkapnya. Menu makanan dengan santan kental khas Minang disajikan di atas meja panjang dan tak lama kemudian perut pun kenyang. Harga menu makanan di sini sangat bersahabat.
Setelah kenyang perjalanan dilanjutkan menuju hotel. Hotel yang dipilih untuk bermalam dan melakukan berbagai kegiatan selama di Bengkulu adalah Hotel Santika. Hotel ini cukup bagus, punya ruang pertemuan besar dan kamar yang cukup banyak dan hanya 6 lantai.
Setelah beristirahat beberapa menit, tugas pertama datang, yaitu hadir di talk show di sebuah radio lokal di Bengkulu. Radio ini berada di Universitas Bengkulu yang sangat luas.
Setelah siaran di radio, pertanyaan yang muncul mau makan malam di mana? Sekilas saya melihat bahwa sejauh mata memandang ada dua kuliner yang cukup punya nama di Bengkulu, yaitu Palembang dan Minang (Padang). Di banyak tempat sepertinya rumah makan Padang merupakan pilihan banyak orang, di mana ketika kami pertama kali datang di Bengkulu, harus keliling terlebih dahulu untuk bisa menemukan rumah makan Padang yang masih cukup punya persediaan untuk makan di pukul 3 sore. Barulah pada pilihan ketiga, yaitu rumah makan Embun Pagi bisa makan siang, dua rumah makan sebelumnya sold out dagangannya. Beberapa rumah makan Padang dengan menu khas seperti Dendeng Batokok sudah habis sejah jam 12 siang.
Oleh karena telah makan kenyang di sore hari tadi, banyak yang menolak yang makan besar lagi di malam hari. Namun pilihan yang tersedia sedikit karena anggota tim tidak mau lagi kuliner lokal atau ikan laut sehingga pilihan jatuh ke Sate Padang.
Sate Padang Ita Teben namanya. Berada di jalan Cendrawasih, Kota Bengkulu, Sate Padang Ita Teben ini menyajikan sate khas Padang Panjang dengan kuah kuning dan daging sapi yang renyah. Juga tersedia sate ayam yang sebenarnya jarang disediakan sate khas Padang lainnya.
Di Sate Padang Ita Teben ini juga tersedia Teh Telor khas Minang yang cukup enak.
Sate padang nya juga ena |
Teh Telor ini enak |
Rumah makan ini tidaklah wah atau punya gedung yang representatif. Namun menunya cukup banyak, khusus dendeng batokoknya enak.
Hari ketiga di Bengkulu merupakan pengalaman yang mengesankan. Oleh karena padatnya jadwal pekerjaan yang harus diselesaikan selama di Bengkulu, saya hampir tidak bisa libur. Sedih juga hanya bisa lewat di sepanjang Pantai Panjang atau melihat masjid yang dirancang Sukarno atau berbagai bangunan lama peninggalan masa kolonial yang cukup banyak tersebar di Bengkulu.
Untunglah di hari ketiga ini bisa berkunjung ke benteng Fort Marlborough. Fort Marlborough merupakan benteng yang menarik, namun sepertinya tidak begitu diekspos untuk kepentingan wisata sejarah. Bangunan yang dibangun pada tahun 1713 hingga 1719 tersebut.
Sebagaimana benteng lainnya yang dibangun untuk menghadapi serangan dari laut Fort Marlborough berdiri gagah menghadap Samudera Indonesia. Saya tak tahu mengapa sepertinya kurang banyak wisatawan yang berkunjung ke benteng ini. Padahal benteng ini, meskipun dibangun oleh East India Company (Inggris), namun benteng ini juga digunakan oleh Belanda dan Jepang.
Komplek benteng in cukup luas. Kita bisa melihat di kejauhan Samudera Indonesia dengan ombaknya. Ada kantor, penjara dan barak tentara di Fort Marlborough. Meriam Belanda dan Inggris berjajar menghadap Samudera Indonesia. Sebuah tempat wisata sejarah yang sangat menarik untuk dikunjungi.
Welcome to Fort Marlborough |
Pintu masuk Fort Marlborough |
Tulisan di dinding sisi kiri Fort Marborouh |
Tulisan di sisi kiri pintu masuk Fort Marlborough |
Meriam |
Meriam menghadap Samudera Indonesia |
Tidak hanya buatan Inggris, meriam ini juga ada yang buatan Belanda |
Barak tentara |
Penjara |
Meriam ini berada di bagian atas dan menghadap ke Samudera Indonesia |
Tampak jauh Samudera Indonesia |
Setelah puas mengelilingi Fort Marlborough kerongkongan terasa kering. Waktunya minum kopi!
Saya sungguh keterlaluan, ketika ke Manokwari tahun lalu, hari kedua saya telah ngopi dan mencari-cari tempat ngopi yang asyik. Namun di Bengkulu hal yang sama tidak bisa saya lakukan karena jadwal yang sungguh padat dan jauh berbeda ketika ke Manokwari tahun lalu.
Jadilah di hari ketiga saya bersama tim bisa ngopi di sebuah kedai kopi yang sangat asyik di Bengkulu, Barracas Bistro. Pilihan datang ke Barracas Bistro bukan sesuatu yang tiba-tiba. Event Organizer lokal yang melayani saya dan tim selama di Bengkulu memiliki hubungan akrab dengan pendiri bistro ini. Pendirinya meninggal di usia muda dan kedai kopi ini diteruskan oleh adiknya.
Lokasinya yang berada di hadapan Samudera Indonesia merupakan kelebihan Barracas Bistro. Pengunjung dapat menikmati kopi, nongkrong sambil menikmati matahari tenggelem di ufuk barat. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan.
Berbagai macam kopi disediakan di sini berikut makanan yang tentu tak semuanya bisa saya coba. Namun satu hal yang penting dari Barracas Bistro ini adalah tempat nongkrong yang asyik, parkirnya cukup luas dan harganya juga bersahabat. Saya sangat menyarakan Anda bila ke Bengkulu singgah di sini.
Nongkrong, minum kopi sambil menikmati Sunset |
Parkir yang luas |
Kursi di luar ini jadi pilihan |
Kopi andalan Barracas Bistro |
Ketika sunset datang |
Dari Barracas Bistro kami menuju Jalan Sudirman, di mana sepanjang jalan tersebut sangat banyak toko yang menyediakan oleh-oleh khas Bengkulu, seperti Sirup Kalamansi. Kami memilih masuk ke toko Cita Rasa. Pilihan oleh-olej di sini sangat lengkap, mulai dari barang kerajinan, batik, makanan hingga minuman, kopi dan madu. Harga sepertinya tak begitu mahal. Cita Rasa ini bisa menjadi one stop service untuk oleh-oleh, pelayanannya bagus dan jika membeli dalam jumlah banyak akan dibantu mengemasnya dalam boks khusus.
Hari ketiga di Bengkulu juga berarti malam terakhir tinggal di Bengkulu. Esok hari harus kembali pulang ke Bogor via Cengkareng. Tentu sangat banyak tempat yang tak sempat saya singgahi karena keterbatasan waktu. Namun saya bisa simpulkan Bengkulu sangat layak untuk dikunjungi. Pemerintah daerah seharusnya melakukan perbaikan di banyak sisi, misalnya infrastruktur jalan yang kurang mulus, bahkan di kota Bengkulu. Khusus untuk wisata, Pemerintah Daerah Bengkulu perlu promosi. Mereka perlu memperkenalkan potensi wisata Bengkulu lebih giat lagi.
Adios Bengkulu!
Comments
Post a Comment