Catatan 2017: Ketika Opini Dilawan Persekusi

Ketika Opini Dilawan Persekusi


Media sosial Indonesia sepanjangan tahun 2017 menyajikan banyak cerita. Ada beberapa cerita yang penting, ada banyak trending topic di Twitter Indonesia, namun satu yang sangat terasa adalah banyaknya kabar palsu, fabrikasi fakta, fitnah, makian dan berbagai hal negatif lainnya.

Sepanjangan tahun 2017, kebebasan berpendapat di media sosial di Indonesia secara keseluruhan jauh lebih baik dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Bahkan bisa disimpulkan bahwa media sosial di Indonesia cenderung lebih bebas sehingga efek negatif kebebasan ini tak terelakkan.

Sedikit kita tengok ke belakang, sebelum politik merasuk ke internet khususnya media sosial, bisadikatakan situasi media sosial di Indonesia baik-baik saja. Hal ini bisa kita lihatsebelum tahun 2012. Situasi media sosial di Indonesia saya rasa jauh lebih sejuk dibandingkan tahun 2017, di mana para pengguna belum terekspos oleh berbagai hal negatif seperti ujaran kebencian atau hoax.

Namun seiring makin dimanfaatkannya media sosial untuk meraih simpati publik, situasi media sosial di Indonesia mulai berubah. Pada tahun 2012, saaat Pilkada DKI yang diikuti oleh Pak Jokowi dan Ahok,  kita masih bisa tersenyum bahwa pada saat itu pertarungan di media sosial tidak sebrutal sekarang. Kemudian, Pemilu dan Pilpres 2014 mengubah segalanya. 

Politik telah membuat interaksi di media sosial di Indonesia khususnya Facebook dan Twitter berada di level panas paling tinggi. Ujaran berbau SARA sangat mudah ditemukan, interaksi begitu panas sehingga kubu pro dan kontra terlibat perang opini yang saling meniadakan dengan membawa isu seperti suku dan agama. Kesimpulan awal saya adalah politikus telah menggunakan segala macam cara untuk meraih kekuasan di tahun 2017, salah satunya dengan menggunakan media sosial dan membanjiri media sosial tersebut dengan isu sensitif seperti suku serta agama.

Saat Pilpres 2014 ini sebenarnya sudah mulai terlihat kubu yang kini terlibat peperangan tanpa henti di media sosial di Indonesia. Namun saat itu kelompok-kelompok tersebut masih cair dan belum terikat ke dalam suatu ikatan kuat berbasis satu isu utama. Namun demikian apa yang terbentuk dari perang di media sosial di tahun 2014, kini menjadi momok yang menakutkan di tahun 2017 bahkan nanti seterusnya di tahun 2018 dan 2019 dan bisa terus ada selama mereka belum mencapai tujuan utamanya.

Hal yang perlu dilihat adalah bahwa kondisi panas yang tercipta di media sosial di Indonesia pada awalnya tak lebih dari perbedaan pandangan poltik. Perbedaan pandangan politik dan dukungan kemudian ditambah oleh cara-cara politisi meraih dukungan di media sosial yang cenderung serampangan dan amoral. Isu politik dan perebutan kekuasaan melalui pemilu dan pilkada misalnya kemudian ditunggangi dengan isu suku dan kemudian agama, menjadikan perang di media sosial begitu berlarut-larut karena dua isu ini merupakan isu krusial di Indonesia yang majemuk, namun dikuasai oleh satu agama mayoritas yang selalu gelisah.

Seiring perkembangan teknologi di media sosial yang cenderung melakukan otomatisasi melalui penggunaan algoritma yang dapat kita lihat pada tahun 2017, kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dan kepentingan akan terpolarisasi secara otomatis. Kelompok yang pro Jokowi atau Ahok misalnya akan bergabung dengan yang pro dan demikian juga dengan yang kontra. Kelompok-kelompok yang terbentuk ini tak pernah lepas dari adanya algoritma media sosial terutama Facebook dan Twitter. Mereka akan berkelompok dan berinteraksi dengan anggota kelompok mereka dan akan menyerang secara beramai-ramai jika ada pihak yang kontra dengan mereka.

Polarisasi yang terbentuk oleh algortima ini sangat tajam dan selalu saling meniadakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kebenaran hanya ada pada kelompok tersebut, selain kebenaran kelompok tak diakui sehingga melihat dunia cenderung hitam-putih dan jarang sekali menggunakan kerangka berpikir rasional. Setiap orang yang menentang atau mencoba menggugat apa yang mereka percayai ditandai sebagai kubu seberang yang harus dilawan, padahal belum tentu demikian. Mereka yang rasional ini sering dicap Ahoker, Jokower, atau bahkan Anieser (cukup jarang terjadi).

Hal yang lebih mengkhawatirkan dari kelompok yang terpolarisasi secara tajam ini adalah Post Truth. Post Truth ditandai dengan bangkitnya kesadaran beragama dan juga nasionalisme yang ditujukan untuk kekuasaan politik. Di era ini emosi dan personal beliefs yang lebih dipercaya sebagai kebenaran daripada kenyataan sebenarnya yang ada di lapangan sehingga sangat sukar untuk berdiskusi karena mereka menganggap bahwa emosi dan beliefs merekalah kebenaran. Beliefs menjadi penghalang karena cenderung sakral dan siapa yang berupaya menggugat bisa dicap antiagama dan dikenai tuduhan pelecehan agama.

Politikus atau siapapun yang suka memanfaatkan kesempatan tahu benar situasi ini dengan mencampurkan unsur beliefs atau kepercayaan (tidak hanya kepada agama, tetapi juga kepada individu tertentu terutama pemimpin kelompok) ke dalam politik untuk merebut kekuasaan lebih cepat.

Peranan kelompok juga penting untuk terus memupuk emosi dan meningkatkan beliefs ini dengan berbagai cara, misalnya peredaran berita palsu, fabrikasi fakta dan tindakan offline maupun offline guna menentang mereka yang mencoba menggugat kebenaran yang mereka yakini.

Dengan situasi yang cenderung kacau dan rumit tersebut, Pilkada DKI tahun 2016 menjadi pilkada paling brutal yang pernah ada di Indonesia. Pilkada DKI 2016 ini terus berlanjut di tahun 2017 dan menyisakan trauma yang mendalam.

Merlyna Lim dalam Freedom to Hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia menyatakan:
There is no doubt that sectarianism and racism played significant roles in the election and social media which were heavily utilized during campaign, contributed to the increasing polarization among Indonesian.

Kita pasti masih ingat demonstrasi besar yang terjadi di Jakarta sepanjang berlangsungnya Pilkada DKI. Dua yang cukup fenomenal adalah aksi 411 dan 212 yang spiritnya sampai sekarang masih terus ditularkan agar kelompok ini terus terjaga untuk berbagai pilkada lainnya di provinsi di Indonesia tahun 2018 dan Pemilu serentak tahun 2019 nanti dengan ide yang kurang lebih sama, yaitu isu berbasis SARA.

Sepanjang tahun 2017, pertarungan di media sosial terlihat nyata antara dua kubu yang saling berseberangan. Ada kubu Anies yang didukung oleh Islam garis keras semacam dan kubu Ahok yang tak cukup punya dukungan dari ummat Islam. Hal yang cukup mengejutkan adalah meskipun Kubu antiAhok atau Anies  memunculkan kandidat gubernur dan wakil gubernur yang notabene liberal dan lulusan AS, kandidat ini  cenderung welcome dengan isu SARA yang diusung selama pilkada DKI yang digunakan untuk mendulang suara pemilih beragama Islam. Tak tahu setuju atau tidak, namun mereka mengambil keuntungan dari kampanye berbasis SARA yang dilakukan terhadap Ahok.

Terkait aksi 411 dan 212 ini Merlyna Lim menyatakan:
These demonstrations also went live on social media. The 414 and 212 protests were discussed, commented on, supported, praised, opposed, and ridiculed, prior, during, and after these events. Using hashtags such as #411, #aksi411, #212, #aksi212, #aksibelaIslam (action to defend Islam), #aksibelaQuran (action to defend Quran), #aksidamai (peaceful action), #tangkapAhok (arrest Ahok), and #penjarakanAhok (jail Ahok), supporters and participants of the rallies posted texts, memes, photos, and videos on social media.
Meanwhile, supporters of Ahok also used social media to claim their version of nationalism and accuse the protesters of being simply racist haters whose values were incompatible with NKRI, the Unitary State of the Republic of Indonesia. Some hailed Ahok as a saint and a martyr who was victimized by the politicization of religion. Others upheld him as a hero of pluralism and called the protests attacks on the spirit of the nation as embodied in the national motto “unity in diversity” (Bhinneka Tunggal Ika). The supporters of Ahok labeled their opponents Arabized (keArab-Araban), un-Indonesian, radical, fundamentalist, intolerant, and even terrorists.
Tema yang diusung dalam demostrasi besar-besaran tersebut jelas menunjukkan bahwa isu agama dan ras digunakan oleh kelompok pendukung Anies. Situasi panas ini tidak berhenti setelah Pilkada DKI usai di mana kubu Anies Baswedan dengan dukungan elemen masyarakat Islam dan simbol-simbol Islam memenangkan pertarungan dan Ahok kemudian dipenjara karena tuduhan blasphemy.

Selama Pilkada DKI tersebut saling serang dengan opini saling meniadakan dari kedua kubu adalah hal yang biasa. Namun agak berbeda dengan kubu Anies, kubu Ahok yang tak didukung oleh isu agama dan Ahok sendiri merupakan minoritas pangkat dua (keturunan China dan sekaligus Kristen) menderita lebih banyak. Situasi yang cenderung panas memunculkan tindakan berikutnya, yaitu Persekusi.

Menurut MT dalam Catatan Akhir Tahunnya:
Berdasarkan catatan SAFENET, 100 kasus persekusi terjadi sepanjang tahun 2017 dan dari sebanyak kasus tersebut, para pelaku persekusi hingga hari ini belum terungkap apalagi dipidanakan sekalipun apa yang mereka lakukan sudah jelas melanggar hukum. Mungkinkah aparat penegak hukum negeri ini takut sampai terkencing-kencing jika harus menertibkan kelompok yang demen melakukan persekusi?
Persekusi dimulai ketika seseorang memiliki dan memposting opini yang berbeda dengan kelompok mainstream di media sosial. Opini tersebut tentu saja berseberangan dengan kelompok mainstream tersebut dan kadang menggugat kebenaran, kesucian pemimpin  atau tindakan yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Kathleen Azali dalam Fake News and Increased Persecution in Indonesia mengatakan:
Between January and June 2017, 59 cases of persecution against alleged critics of Islam and the Islamic Defenders Front (FPI) were reported in Indonesia.In May and June 2017, a 40-year-old Muslim woman working as a state hospital physician in West Sumatra had her workplace and home stormed by dozens of alleged members of the FPI (Front Pembela Islam/Islam Defender Front). She was threatened and intimidated—accused as an ulama (religious leader)-slandering pelacur (whore) and a Communist—for posting a status on Facebook that criticised Habib Rizieq Shihab, leader of the FPI. For safety reasons, legal aid moved her to Jakarta. A 15-year-old boy of Chinese descent in Jakarta had his house stormed at midnight, was dragged outside and beaten for making comments insulting Rizieq and the FPI, and then forced to sign a statement of apology by a group of people claiming to be members of the FPI. The family’s legal press release stated that there were more than 100 people involved, and that the family had been ejected by their landlord for fear of his house being stormed again. The boy’s mother, a widow, lost her job because her workplace had similar fears.

Kathleen Azali memberikan empat tahap persekusi, yaitu
(1) tracing and listing social media accounts;
(2) publishing instructions to hunt listed targets along with their personal data (including photographs and home or workplace addresses);
(3) storming the target’s workplace or home;
(4) taking and reporting the target to the police using the very same ITE Law

Upaya persekusi yang dimulai dari perbedaan opini di media sosial ini sangat membuat jengah. Ada kecenderungan polisi seperti membiarkan persekusi tersebut

MT mempertanyakan hal ini dengan mengatakan:
Tidak, pertanyaanku bukan menyalahkan  Aparat Penegak Hukum. Hanya mempertanyakan, kenapa tak satupun mereka berani menangkap para pelaku persekusi. Bahkan dalam beberapa tayangan foto/video persekusi, Aparat malah seperti menemani para persekutor dengan alasan untuk menjaga ketertiban.  
Ini tentu mengkhawatirkan. Ada target yang hendak dipersekusi, penegak hukum bukannya melindungi malah menemani pihak yang melakukan persekusi. Bukannya persekusi melanggar hukum?

Sekali lagi saya khawatir tindakan persekusi ke depannya, seiring dengan terus memanasnya media sosial kasus persekusi akan terus bertambah. Tidak adanya tindakan pencegahan atau bahkan hukuman bagi pelaku persekusi karena mereka berasal dari kelompok penekan yang yang ditakuti makin membuka tindakan persekusi ini.

Sebagaimana kita ketahui, media sosial adalah wadah untuk berpendapat, beropini secara bebas selagi tidak melanggar hukum dan norma yang berlaku. Opini ini seharusnya dilawan dengan opini, bukan dengan persekusi. Namun bagi kelompok tertentu, persekusi merupakan jawaban atas opini yang sering mereka sebut sesat atau menistakan pemimpin mereka.

Kekhawatiran meningkatnya jumlah kasus persekusi ini bukan sesuatu yang mengada ada. Ada beberapa faktor yang membuat persekusi merupakan pilihan bagi beberapa kelompok penekan yang menjadi mainstream di media sosial. Kathleen Azali memberikan beberap clue penting terkait hal ini. Pertama adalah:
throughout Indonesia’s modern history the distinction between state and non-state actors carrying out legitimate violence and coercion has not been clear cut. Extortion and harassment by street-level thugs, gangs, and militias—often lumped together as preman—are a ubiquitous part of everyday life.

Di sepanjang sejarah modern Indonesia, perbedaan antara aktor negara dan non-negara yang melakukan kekerasan dan pemaksaan yang sah belum diputuskan secara jelas. Pemerasan dan pelecehan oleh preman jalanan, geng, dan milisi atau seringkali disebut sebagai preman adalah bagian mana-mana di kehidupan sehari-hari. Kini bentuk-bentuk preman setengah resmi ataupun resmi dengan berbagai nama organisasi tumbuh subur di Indonesia dan bisa melakukan persekusi kapan saja terhadap target yang merek tetapkan.

Kedua:
indicate that the FPI members and sympathisers have grown savvy in using digital media to systematically identify and harass those they disagree with, both online and offline.

Harus diakui bahwa kelompok-kelompok penekan kini makin sering bermain media sosial. Tujuannya tentu saja, selain merekrut anggota baru tanpa batas wilayah, mereka juga bisa mengidentifikasi siapa-siapa yang akan jadi target persekusi berikutnya. Keberadaan di media sosial ini sangat menguntungkan bagi mereka karena memiliki banyak manfaat. Selain mobilisasi anggota, kampanye, perekrutan dan sekaligus membina semangat anggota, kelompok penekan bisa mengidentifikasi lebih banyak target persekusi.

Ketiga adalah peredaran berita palsu dan kondisi new media yang cenderung mencari sensasi dan keterkenalan sesaat bisa memicu makin banyaknya korban persekusi ini di tahun 2018. Kathleen Azali mengatakan bahwa:
Fake news’ is being used by these groups to aggravate sectarian tensions and feelings of alienation.

Tentu saja tidak hanya berita palsu yang bisa memicu lebih banyak persekusi. Fabrikasi fakta, rumor/desas-desus berbau SARA akan berakibat memicu persekusi oleh kelompok yang selama ini tidak memperoleh hukuman setimpal atas persekusi yang mereka lakukan. Isu agama yang sangat sensitive (terutama) membuat aparat penegak hukum bimbang dalam menentukan langkah, baik pencegahan maupun penindakan terhadap kelompok atau individu yang berafiliasi dengan kelompok penekan yang melakukan persekusi.

Kita jelas khawatir. Tahun 2018 adalah tahun politik di mana sangat banyak pilkada di berbagai daerah. Kekhawatiran makin banyaknya persekusi bisa menjadi kenyataan di tahun ini. Hal lain yang patut dikhawatirkan juga adalah situasi media sosial Indonesia yang akan tetap panas, penuh dengan ujaran kebencian, hoax, fitnah dan konten sejenis lainnya. Ada kecenderungan berbagai kelompok akan terus menggunakan hoax dan ujaran kebencian sebagai alat untuk mengalahkan lawannya.
Semoga tak terjadi lebih banyak lagi persekusi!


Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya