Penularan Emosi dan Fenomena Gagal Move On di Media Sosial

 
Emotion can be transmitted via computer-mediated communication and can go viral
Emotional contagion isn’t new either. It’s an age-old phenomenon whereby an individual’s emotions trigger similar emotions in others. Historically this has led to outbreaks of mass hysteria such as the Salem witch trials, but on the internet the potential for hysteria to spread is even greater.
Dua hari terakhir ini saya membaca sebuah kisah tentang seorang Vlogger di YouTube yang diceritakan dengan sangat menarik oleh The Guardian. Marina Joyce nama Vlogger tersebut dianggap mengalami sesuatu yang tidak baik oleh fansnya. Fansnya merasa ada sesuatu yang salah dari Marina Joyce karena mereka melihat perubahan yang besar dan ada tanda-tanda ia disakiti karena ada terlihat memar di mukanya. 

Media sosial bekerja dengan baik untuk mengampanyekan syak wasangka ini yang dimulai dari rasa sok tahu atau desas-desus yang diciptakan beberapa fansnya hingga membuat tagar #SaveMarinaJoyce menjadi trending topic di Twitter.

Kisah ini menarik karena sampai melibatkan kepolisian yang harus berkunjung ke rumah Marina Joyce untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja. Pihak kepolisian kemudian melakukan tweet untuk memastikan hal tersebut, demikian pula Marina Joyce untuk memastikan kepada fansnya bahwa ia baik-baik saja dan memang baik-baik saja, tidak ada satupun dugaan fansnya yang benar.

Namun histeria fansnya tidak berhenti. Mereka tetap percaya bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Padahal orang yang dikira atau didesas-desuskan mengalami sesuatu yang buruk tersebut sudah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. 

Tentu timbul pertanyaan, mengapa fansnya menolak untuk mengakui bahwa Marina Joyce baik-baik saja dan tidak pernah mengalami hal yang buruk yang mereka desas-desuskan?

Seperti yang diungkapkan oleh The Guardian bahwa di dalam peristiwa tersebut telah terjadi penularan emosi atau emotion contagion. Penularan emosi sebagaimana dinyatakan di awal artikel ini adalah fenomena emosi seseorang mencetuskan emosi yang sama di orang lain sehingga menimbulkan histeria massal. Ini bukan sesuatu yang baru, tetapi kemajuan internet dan media sosial khususnya telah membuat penularan emosi ini tidak bisa diperkirakan dan diukur dengan mudah akibatnya.

Sampai di ini mungkin belum menarik. Namun sebenarnyalah bahwa penjelasan tentang penularan emosi ini sangat menarik terkait dengan beberapa peristiwa di media sosial khususnya Twitter dan Facebook di Indonesia di mana ada sekelompok orang yang belum bisa juga move on dari Pemilu 2014 yang lalu.

Sebagaimana diungkapkan oleh Stefan Stieglitz, di media sosial ada fenomena perlawanan terhadap fakta atau berita baru yang digunakan untuk membantah berita lama. Menurutnya jika orang mendapatkan informasi baru yang berbeda dengan apa yang mereka percaya maka mereka cenderung mengabaikan informasi baru ini untuk selama mungkin. 

Pertanyaannya mengapa mereka mengabaikan informasi baru tersebut?

Sebelum kita mencari jawaban pertanyaan tersebut, mari kita lihat beberapa fenomena di media sosial Indonesia, khususnya Twitter dan Facebook atau WhatsApp.

Di Twitter atau Facebook, kita sangat mudah menemukan beberapa kelompok yang saling berhadapan, head to head entah membela siapa, yang jelas mereka membela ego dan emosi masing-masing. Ada kelompok yang selalu saja memberitakan hal yang buruk, di hadapannya ada kelompok yang membela mati-matian. 

Ada kelompok yang tetap menyebarkan berbagai macam kabar bohong sehingga tak bosan-bosan melakukan hal tersebut. Ada kelompok entah itu orang pintar jebolan universitas dan berpredikat profesor yang tanpa bersalah menyebarkan kabar negatif yang jelas-jelas kabar bohong. 

Hal ini menimbulkan hal berikutnya, ada lovers ada haters. Bagi haters segala sesuatu yang dilakukan seseorang adalah salah. Berbagai macam cara digunakan untuk menunjukkan hal tersebut sampai menggunakan kabar bohong. Bagi lovers juga begitu, semuanya benar. 

Kedua bentuk kelompok ini adalah mereka yang mengabaikan informasi baru yang menyanggah apa yang mereka percayai sebelumnya. Mereka menyanggah informasi baru tersebut karena informasi lama yang mereka terima membawa emosi yang ditumpangkan sedemikian rupa sehingga membuat mereka sulit untuk meninggalkan apa yang mereka terima dari informasi lama tersebut. Contoh:


Sampai sekarang informasi ini masih sangat dipercaya oleh publik meskipun sudah entah berapa kali dibantah dan terus saja disebar dan dipergunjingkan untuk menarik lebih banyak orang untuk mempercayainya.

Emosi yang ditumpangkan dalam desas-desus di atas adalah unsur rasial yang sangat sensitif di Indonesia selain agama. Apalagi bila dipertentangkan dengan unsur lain, misalnya pribumi, desas-desus ini akan melebar, merambah hal-hal yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Emosi agama juga merupakan hal yang sering ditumpangkan ke berbasai desas-desus sehingga membuatnya begitu berbahaya. Kita melihat sangat bayak hal-hal yang berbau agama dipertentangkan di media sosial, hampir tidak ada yang bisa melerai karena masing-masing kubu mempercayai apa yang mereka terima sebelumnya dan mengabaikan informasi baru selama mungkin.

Penularan emosi di media sosial ini suatu yang tidak bisa dicegah. Banyak pihak memiliki tujuan tertentu sehingga membumbui desas-desus yang mereka ciptakan dengan berbagai hal yang bisa memancing emosi penerima informasi. Jika desas-desus tersebut secara konstan disalurkan dengan berbagai bumbu untuk memantik emosi yang diharapkan, tentu saja akan sangat banyak orang atau kelompok yang tidak akan pernah percaya lagi informasi dari pihak lain. Mereka tegar untuk berubah. Mereka gagal move on. Selalu saja memberitakan hal-hal buruk. Selalu saja memuji tanpa mau dikoreksi.

Inilah sisi penting yang perlu kita lihat, mengapa media sosial dan internet umumnya telah disalahgunakan berbagai pihak untuk memperoleh tujuan mereka sendiri. Ketidakterbatasan internet melahirkan informasi tanpa sekat dan tanpa saringan sehingga membuat orang pintarpun ikut-ikutan menjadi bodoh.


Baca Juga:

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya