Fatwa MUI, Sebaran Hoax, Fitnah dan Ujaran Kebencian


Hampir setahun yang lalu, saya datang ke gedung Kominfo untuk menghadiri rilis sebuah fatwa yang saya rasa waktu itu merupakan kata putus untuk banyaknya sebaran hoax, fitnah, bullying, namimah (di antaranya) di media sosial Indonesia. Fatwa itu disebut dengan Hukum dan Pedoman Bermuamalah di Media Sosial. Waktu itu, bulan Ramadan, bulan suci dan rilis fatwa ini di bulan Ramadan diharapkan sebagai pertanda bahwa fatwa ini penting untuk segera dilaksanakan umat Islam di Indonesia.

Hampir setahun kemudian, hasilnya? Ah sudahlah.

Sedikit saya ceritakan latar belakang mengapa Fatwa MUI Nomor 24 tentang Hukum dan dan Pedoman Bermuamalah di Media Sosial ini penting. Kita kembali ke data. Penduduk Indonesia saat ini berjumlah sekitar 262 juta, sebanyak 132 juta merupakan pengguna internet. Oleh karena sebagian besar orang Indonesia beragama Islam, bisa disimpulkan bahwa pengguna internet Indonesia sebagian besar juga beragama Islam. 

Dengan banyaknya pengguna internet yang beragama Islam, masuk akal bahwa konten yang ada di media sosial juga sebagian besar diproduksi oleh mereka yang beragama Islam. Di sini, sense of belong to Islam diharapkan bisa mengerem pengguna internet yang beragama Islam agar tidak memproduksi konten negatif seperti hoax, fitnah, ujaran kebencian, namimah dan sejenisnya.

Caranya? Majelis Ulama Indonesia atau biasa disebut MUI mengeluarkan fatwa yang menjadi ketentuan hukum (yang tentu saja memiliki risiko dari sisi kepercayaan atau agama) bila tidak dilaksanakan. Maka, pada bulan Ramadan tahun lalu, dirilislah sebuah pedoman dan ketentuan hukum (sengaja ditebalkan) agar mereka yang beragama Islam bisa diatur dengan aturan yang yang pasti dan melengkapi hukum positif yang selama ini telah ada, namun juga tidak efektif melawan konten seperti hoax dan kawan-kawannya.

Demikianlah, di sebuah sore sebelum berbuka puasa diadakan konferensi pers dalam rangka perilisan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 tentang Pedoman dan Ketentuan Hukum Melalui Media Sosial.

Sesungguhnyalah fatwa ini sangat lengkap dan tentu saja memiliki ketentuan hukum bagi mereka yang tidak mentaatinya. Saat itu saya berharap banyak, jika selama ini fatwa MUI merupakan senjata pamungkas bagi sebuah masalah yang tak kunjung selesai, semoga hal serupa terjadi dalam masalah hoax, fitnah, gibah, namimah yang disebarkan secara sengaja di media sosial.

Namun harapan tersebut jauh dari kenyataan!

Berikut saya kutip sebagian ketentuan hukum penting yang ada dalam Fatwa MUI tersebut:

Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:
  1. Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.
  2. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
  3. Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
Kata diharamkan ini tentu memiliki konsekuensi besar. Diharamkan artinya diputuskan untuk menjadi haram dan tidak boleh (secara tegas) dilakukan. Jadi melakukan ghibah, fitnah, namimah, penyebaran permusuhan, bullying, ujaran kebencian, dan hoax adalah haram dan yang melakukannya tentu saja mendapat konsekuensi dosa. Konsekuensi dosa bagi pemeluk agama, apalagi agama Islam merupakan sesuatu yang ditakuti sehingga mau tidak mau larangan ini harus diikuti. Namun, sayangnya fatwa ini gagal menghadang sebaran hoax, fitnah, ujaran kebencian dan lainnya tersebut.

Tentu kita bertanya, mengapa hoax, fitnah, namimah, ghibah dan konten serupa seperti ujaran kebencian tak surut di media sosial Indonesia bahkan setelah MUI mengeluarkan fatwa yang bisa mengikat bagian terbesar dari pengguna internet di Indonesia?

Apa sebabnya?

Tentu belum ada penelitian yang berusaha mencari tahu efektivitas sebuah fatwa. Namun mungkin kita urai beberapa alasan mengapa Fatwa MUI tersebut cenderung gagal menghadapi sebaran hoax dan kawan-kawannya di media sosial.

Pertama minimnya sosialisasi. Di zaman terkoneksi seperti sekarang, dengan kemudahan memperoleh informasi, ternyata tak menghilangkan betapa pentingnya sosialisasi. Fatwa sepenting ini ternyata tidak diikuti oleh sosialisasi yang memadai. Sosialisasi sangat penting karena meskipun pengguna media sosial bisa mencari dan mendapatkan berita apapun yang mereka inginkan, tidak adanya sosialisasi membuat awareness mereka tidak ada sama sekali. Awareness merupakan poin penting untuk membuat orang lain melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Jika tak ada awareness terhadap fatwa ini, bagaimana kita berharap mereka bisa mengerti dan kemudian menahan jari mereka dari menyebarkan hoax atau memfitnah?

Contohlah, karena MUI ini dekat dengan departeman agama, mengapa tidak fatwa ini disosialisasikan di pesantren, mengapa tidak diajurkan oleh khatib salat Jum'at, mengapa tidak disebarkan ketika salat Idul Fitri atau Idul Adha atau di hari-hari peringatan Islam lainnya. Padahal kondisi hoax, fitnah, ghibah dan namimah di media sosial Indonesia sudah dalam tahap gawat. 

Ketiadaan sosialisasi membuat fatwa ini hanya bagus untuk dibaca atau diingat-ingat bahwa setidaknya MUI pernah bereaksi terhadap sebaran hoax dan sejenisnya di media sosial. Ketiadaan sosialisasi juga membuat fatwa ini menjadi terbatas pengaruhnya dan tentu saja efeknya.

Kedua, fatwa tinggal fatwa. Ada kecenderungan (hanya menduga) oleh karena berbagai fatwa terdahulu, fatwa yang lahir belakangan dianggap sama saja? Saya tidak tahu, namun sepertinya ada kecenderungan umat Islam Indonesia mengabaikan fatwa MUI? Bisa jadi. Mungkin mereka capek melihat sepak-terjang MUI.

Ketiga mungkin fatwa MUI ini merugikan pihak yang memperoleh manfaat besar dari sebaran hoax, fitnah, bullying, namimah dan lainnya di media sosial sehingga fatwa ini seolah-olah disembunyikan. Mereka mungkin mengetahui fatwa ini, tetapi tidak menaatinya karena merugikan kegiatan atau kepentingan yang tengah mereka lakukan.

Keempat, bukan hanya fatwa MUI yang tak mampu menghadapi hoax, fitnah, ghibah, ujaran kebencian dan sejenisnya, hukum positif yang nyata-nyata ada ancaman hukuman penjara juga tidak bisa berbuat banyak. Sekian banyak hoax dan kawan-kawannya beredar di media sosial, berapa orang yang ditangkap? Berapa orang yang dimasukkan ke penjara? Bisa dihitung dengan jari. Jika pun ada yang ditangkap, rasanya tidak terlalu memberikan efek jera atau takut bagi yang lain untuk melakukan hal serupa. Hal ini akan mengurangi rasa takut orang untuk melanggar aturan sebab dilanggar pun tak akan masuk penjara atau hukumannya tak setimpal misalnya. 

Ini pertanda bahwa fatwa MUI yang ancaman hukumannya tidak nyata (unreal) berupa dosa akan lebih banyak lagi yang tidak takut sebab tidak langsung dirasakan. Dosa sekarang nanti bisa tobat, nanti bisa minta ampun sebelum mati. Dosa bisa dihapus (mungkin itu logika mereka).

Jadilah fatwa ini sebuah fatwa yang bukannya tidak berguna, namun tidak dilaksanakan karena akan menghapus insentif yang diharapkan dari apa yang dilarang fatwa tersebut. 

Coba kita cek infografis berikut ini:

 
Jenis Hoax

Dua jenis hoax yang diterima masyarakat yang paling banyak adalah sosial politik dan SARA. Kedua jenis hoax ini memiliki insentif besar untuk disebarkan, terutama untuk meraih kekuasaan politik. Populernya kedua jenis hoax ini tak lain karena ada tujuan besar yang ingin diperoleh dari sebaran hoax tersebut, yaitu kekuasaan. 

Demikian juga dengan fitnah, ujaran kebencian, namimah dan bullying yang dilakukan selama Pilkada yang lalu. Mengapa dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam (misalnya)? Padahal ada larangan nyata di dalam fatwa MUI. Jawabannya tidak lain karena insentif yang diharapkan lebih besar dari sekadar fatwa MUI. Harapan memegang kendali pemerintahan yang dijanjikan lebih adil dan lebih memperhatikan kelompok agama atau suku tertentu dijadikan pembenaran untuk menyebarkan hoax, ujaran, fitnah, ghibah, bullying dan lain-lain. Sebab mereka pikir hal tersebut (mungkin) dapat dimaafkan karena merupakan bagian dari perjuangan meraih kekuasaan (politik).

Hal ini tentu merisaukan. Banyak orang berharap fatwa MUI tentang Pedoman dan Ketentuan Hukum Bermuamalah Melalui Media Sosial ini sebuah solusi karena secara jelas dinyatakan hukum menyebarkan hoax, fitnah, ujaran kebencian dan lain-lain sehingga orang bisa menahan diri dari menyebarkan kabar atau informasi yang tak jelas sumber atau tidak diverifikasi sebelumnya di media sosial. Demikian juga dengan fitnah, ghibah, namimah, dan ujaran kebencian. Namun sejauh ini, fatwa MUI ini bisa dikatakan belum mampu menahan laju sebaran hoax, ujaran kebencian dan lainnya.

Mungkin butuh waktu?

Siapa yang tahu.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Bisnis Jual-Beli Organ Tubuh Manusia

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium