Ketika Blokir (masih) Jadi Senjata Penguasa
Ketika Blokir (masih) Jadi Senjata Penguasa
Apa itu blokir? Apa itu sensor? Sebuah pertanyaan yang
tidak perlu ada jawaban.
Bila Anda sempat hidup di zaman orde baru, blokir atau
breidel atau sensor mungkin kata yang akrab di telinga karena sedemikian seringnya
sensor dilakukan pemerintah Orde Baru. Media massa misalnya bila tak sejalan
dengan penguasa, media massa tersebut bisa dibreidel seenak udel penguasa. Nah
sekarang di zaman internet apakah pemerintah masih menggunakan sensor?
Ternyata penguasa dari dulu tak banyak berubah. Di
zaman digital, di mana kewenangan penguasa dicincang untuk dijadikan olok-olok
oleh internet, blokir atau sensor masih menjadi senjata yang sering digunakan
penguasa untuk memaksakan kehendak. Ancaman blokir atau sensor terhadap layanan
sering menjadi momok yang menakutkan sehingga membuat layanan di zaman digital
menurut.
Saya ingat sebuah kalimat di Catatan Pinggir GM
(kira-kira seperti ini):
Sensor itu seperti membunuh nyamuk dengan cara melemparkan celana dalam yang bau, sia-sia dan agak memalukan.
Apa pasal sehingga GM mendefinisikan sensor seperti
itu? Tak lain, dari dulu sensor atau sekarang blokir layanan cenderung tidak
efektif dan sering hanya untuk menakut-nakuti sehingga agak memalukan.
Meskipun demikian, pemerintah atau penguasa di zaman
digital yang sebenarnya telah banyak kehilangan pengaruh dan kuasa masih tetap
menggunakan sensor atau pemblokiran layanan. Tentu kenyataan ini sebuah hal
yang patut dipertanyakan, mengingat dari dulu sensor atau blokir sebenarnya
memalukan.
Zeynep Tufekci dalam bukunya Twitter and Tear Gas
memberikan satu bab khusus yang diberi judul Governments Strike Back yang sebagian dari bab tersebut membahas soal blokir. Bila dibaca bab ini dengan saksama, upaya blokir merupakan upaya
perlawanan penguasa terhadap apa yang terjadi yang sebenarnya tidak mereka
kehendaki. Kadang mungkin berupa eksternalitas dari layanan, kadang mungkin
memang layanan itu sendiri yang melanggar.
Dengan sifat internet yang borderless dan informasi yang berjalan begitu cepat, tidak
dipungkiri sebagian dari informasi atau layanan yang menyediakan informasi
tersebut tidak sesuai dengan yang diinginkan pemerintah, kadang bahkan dicari-cari
pembenarannya agar blokir tersebut bisa diterapkan.
Hal yang patut diperhatikan juga bahwa penguasa,
misalnya di Indonesia melalui Kominfo tidak melulu melakukan pemblokiran untuk
melindungi publik dari informasi yang mereka kategorikan melanggar, tetapi juga
kadang adanya personal interest yang
bisa saja terkait dengan kepercayaan pemegang kuasa saat itu.
Bila kita teliti lebih jauh di Indonesia isu sensitif
yang sering kena blokir adalah konten pronografi. Dari beberapa tahun yang
lalu, Kominfo bisa dikatakan sangat fokus membasmi konten porno di internet
dengan melakukan berbagai pemblokiran layanan, sementara isu lain misalnya
radikalisme misalnya memperoleh priorotas yang lebih jauh kecil. Namun
pemblokiran pornografi ini cenderung pada situs, namun tidak di media sosial.
Fokus kominfo ke isu pornografi ini sebenarnya sebuah
hal yang lucu mengingat, melemparkan celana dalam yang bau (blokir) konten
porno adalah usaha sia-sia dan agak memalukan karena pertumbuhan konten porno
di internet sangat cepat dan bisa ditemukan hampir di setiap layanan, di Twitter,
Facebook misalnya sehingga diblokir pun hampir tidak memiliki efek yang memadai
sehingga memalukan.
Namun meskipun kenyataannya demikian adanya, hal
tersebut tidak mengurangi minat penguasa melakukan pemblokiran. Beberapa waktu
yang lalu, saat terjadi demonstrasi di Iran, pemerintah Iran mematikan akses
pengguna Iran kepada Instagram dan Telegram yang kemudian dicabut. Di Mesir
tahun 2011, koneksi internet di sekitar kawasan Tahrir Square dicabut rezim
Mubarak sehingga mereka yang berdemo di sana tidak bisa mengirimkan update dan membuat
kerabat, teman atau keluarga datang ke Tahrir Square dan ikut berdemo.
Di Indonesia ancaman pemblokiran merupakan senjata
yang dimainkan pemerintah agar layanan seperti WhatsApp dan Telegram misalnya
mengikuti keinginan pemerintah. Hal yang lucu adalah bahwa ancaman tersebut
bisa saja keluar karena isu yang tidak signifikan seperti kasus GIF di WhatsApp
yang sengaja dibesarkan oleh moralis dan memperoleh perhatian mereka yang
memegang kuasa karena persamaan paham yang sulit untuk dijadikan alasan
pemblokiran.
Dalam skala besar, pemblokiran atau sensor adalah
mematikan koneksi internet secara keseluruhan. Bisa dipastikan hal ini belum
terjadi di Indonesia. Namun perlu diingat adalah bahwa apakah itu memutus
koneksi secara keseluruhan atau melakukan pemblokiran terhadap layanan tertentu
pada dasarnya memiliki efek yang sama. Efek tersebut antara lain sebagai
berikut.
1. Censorship during the internet era does not operate under the same logic it did during the heyday of print or even broadcast television (Zeynep Tufekci).
Logika sensor zaman dulu sudah
tak sama dengan zaman digital seperti sekarang. Bila dulu penguasa secara penuh
menentukan pemblokiran atau sensor, di zaman digital keputusan sensor bisa saja
berasal dari pihak-pihak yang ingin melakukan sensor secara resmi melalui
tangan pemerintah. Hal ini jika diaplikasikan akan mengancam kebebasan
berekspresi. Ancaman pemblokiran WhatsApp karena fitur GIF porno bisa jadi
contoh di mana pihak yang disebut “publik” memberikan laporan dan ternyata
ditanggapi serius oleh pemegang kuasa.
Blokir juga, seperti saya
tuliskan di atas sebenarnya tidaklah efektif menjauhkan publik dari mengakses
atau memiliki konten yang dilarang sehingga blokir cenderung sia-sia pada batas
tertentu. Blokir fitur GIF di WhatsApp merupakan contoh di mana fitur GIF
tersebut juga terdapat di banyak aplikasi keyboard yang sehingga ketika di
WhatsApp diblokir, aplikasi papan ketik dan perpesanan lain masih bisa diakses.
Pun di pencarian internet melalui Google juga bisa ditemukan dengan mudah.
2. Pemblokiran di zaman digital pada dasarnya merupakan
gerakan Draconian yang bisa saja menimbulkan perhatian global dan lokal
sehingga isu tersebut saja menjadi backfire
bagi penguasa.
Sering kita melihat bahwa
negara-negara yang senang melakukan pemblokiran adalah negara dengan kualitas
demokrasi yang kurang bagus. Negara-negara tersebut justru menjadi perhatian
negara lain dan isu-isu pemblokiran yang dilakukan negara malah menjadikan negara
tersebut buruk di mata internasional.
3. Adanya Streisand Effect
Menurut Zeynep Tufekci
Attempts at censorship can backfire and bring much more attention to the information that was supposed to be suppressed.
Kasus GIF porno memberikan
pelajaran bahwa sebelum digembar-gemborkan dan diancam untuk diblokir, hampir
tak ada yang menaruh perhatian kepada fitur GIF tersebut. Kini dengan ancaman
blokir justru membuat publik yang sebelumnya tidak mengetahui, malah mengetahui
dan mengakses konten tersebut. Ini artinya, usaha sensor atau blokir malah
menghasilkan pengguna baru dari informasi yang ingin disensor atau diblokir,
sebuah efek yang sebenarnya tidak diharapkan. Kalau sudah seperti itu, apakah
tidak lebih baik dibiarkan saja? Pemerintah atau penguasa memang sering
memiliki rasio yang jauh berbeda.
4. Sensor atau pemblokiran tidaklah seefektif yang
dibayangkan pihak penguasa. Di zaman digital di mana banyaknys sumber atau
aplikasi yang bisa digunakan untuk melawan sensor secara diam-diam,
pemberlakuan sensor atau pemblokiran tak akan berhasil banyak. Salah satu
aplikasi penting tersebut adalah VPN. Sebagaimana diungkapkan oleh Zeynep, jika
penguasa ingin melakukan blokir yang efektif mungkin pemblokiran VPN merupakan
cara yang perlu ditempuh. Namun cara ini juga memiliki risiko yang tak kalah
beratnya kepada dunia bisnis yang juga berharap kepada VPN sehingga ketika VPN
dilarang kalangan bisnis mengalami kesulitan. Aplikasi lain yang perlu dilihat
adalah TOR browser. Meskipun cenderung lambat, namun aplikasi ini sangat
berguna dalam melawan sensor yang diterapkan pemerintah terhadap layanan
tertentu.
Lebih jauh perlu digarisbawahi bahwa sensor di zaman
digital seperti sekarang ini hanya alat yang dipakai memuaskan penguasa dalam
waktu sekejap tanpa harus berpikir tentang tanggung jawab mereka melakukan
literasi agar pengguna internet lebih tercerahkan. Di Indonesia, blokir
aplikasi, sensor terhadap situs sering lebih kepada one stop action yang tak berbuah apa-apa selain memperlihatkan
betapa bodohnya mereka yang menerapkan hal tersebut.
Tentulah kita heran di zaman di mana kekuasaan
pemerintah makin nisbi seperti sekarang ini, pemerintah merasa masih percaya
diri melakukan pemblokiran akses internet atau pemblokiran layanan. Kasus di
Indonesia bisa kita lihat bagaimana pemerintah bersikap terhadap layanan yang
menurut mereka melanggar. Fokus terhadap konten porno juga memperlihatkan
betapa gamangnya pemerintah terhadap konten lain yang lebih berbahaya seperti hate speech, SARA dan radikalisme.
Tampaknya ada semacam ilusi di pemerintah atau penguasa bahwa konten porno
merupakan musuh bersama yang perlu dienyahkan, sedangkan konten berbahaya
lainnya seperti radikalisme terlalu berbahaya untuk diblokir karena terkait
dengan agama atau kelompok tertentu.
Pada akhirnya blokir atau sensor diterapkan sesuai
selera dan kebutuhan penguasa saat itu.
Comments
Post a Comment