Manipulasi Media & Disinformasi Online


Hari-hari sekarang ini hampir tidak ada peristiwa tanpa ada pelintiran media dan disinformasi. Kita melihat kecederungan manipulasi media dan disinformasi ini terus subur di tengah iklim setengah bebas yang tak menentu dalam free speech. 

Bila kita tengok ke belakang sebentar, merasuknya politik ke internet dan media sosial khususnya telah mengubah lanskap internet dan media sosial dari sebuah sarana mencari, mengolah dan mengonsumsi informasi yang cenderung netral ke kegiatan yang cenderung mendisrupsi segala sesuatu yang ajeg dengan cara-cara yang tidak terbayangkan sebelumnya bisa dilakukan secara offline.

Juga bila kita lihat sebelumnya, kultur internet adalah sesuatu yang netral dan jauh dari keributan. Jika kita ingat banyaknya grup dulu, chatting di Yahoo Messenger, MiRC dan berbagai forum terbuka maupun tertutup lebih merupakan sesuatu yang sambil lalu dan tak terkait dengan pencapaian kekuasaan melalui penggalangan gerakan di internet dan media sosial karena aksi-aksi offline lebih memainkan peran.

Namun seiring makin mudahnya internet digunakan, makin banyaknya pengguna, dan biaya yang berlangganan yang sangat murah serta teknologi perangkat yang makin terjangkau, kultur internet yang sampai dengan tahun 2011 masih bisa dikatakan untuk sesuatu yang prodemokrasi, kini berubah total dengan munculnya subkultur yang merongrong demokrasi dengan alasan kebebasan berbicara. Subkultur yang cenderung menyimpang ini ditandai dengan berbagai forum, blog, situs yang cenderung menunjukkan sisi liar yang selama terpendam, seperti Neo Nazi.

Para pemelintir informasi, mereka yang berperan memanipulasi media dan mereka yang sengaja melakukan disinformasi lahir dari subkultur ini. Subkultur yang cenderungan sangat bebas nilai dan mengkultuskan sesuatu yang cenderung primordial ini tumbuh subur di internet, terutama di situ-situs alternatif yang memang ditujukan untuk hal ini. 

Di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda. Ada kecenderungan kebebasan berbicara digunakan secara serampangan. Namun berbeda dengan di AS yang bisa ditelusuri jauh ke belakang, para pelaku manipulasi media dan disinformasi setidaknya sangat terkait dengan partai politik dan bukan merupakan mereka yang lahir dari forum-forum jauh sebelum merasuknya politik ke internet dan media sosial. Meskipun menghasilkan output yang sama, misalnya trolls internet, trolls di Indonesia cenderung bukan sesuatu yang berasal dari 4chan misalnya, tetapi mereka lahir karena kekuatan partai politik dan tokoh.

Demikianlah sampai dengan suatu waktu kita menyaksikan subkultur manipulasi media dan disinformasi tumbuh subur di internet Indonesia. Untuk memetakan pelakunya tentu membutuhkan penelitian yang mendalam. Namun kita beruntung, sebuah paper dari Data & Society yang berjudul Media
Manipulation and Disinformation Online telah menyingkap para aktor yang bermain dalam memanipulasi media dan disinformasi berbasis apa yang pernah terjadi di Amerika Serikat yang bisa kita jadikan benchmark untuk melihat maraknya manipulasi media dan disinformasi di Indonesia.

Dalam laporan tersebut Data & Society menyelami apa yang beberapa waktu terakhir ini sangat populer di Amerika Serikat, yaitu Alt-Right. Sementara di Indonesia kita tak mengenal istilah ini. Memang diakui ada sebagian kelompok kanan yang terus menguat dan mengampanyekan isu-isu serupa tapi tak sama dengan yang di AS, namun mereka sepertinya bukan sepenuhnya termasuk Alt-Right yang didefinisikan:
The term “alt-right” is a neologism that puts a fresh coat of paint on some very long-standing racist and misogynist ideas.
Satu ide penting dari Alt-Right tersebut adalah rasis. Di Indonesia di mana semua kulit berwarna, tentu saja superioritas kulit putih yang sering jadi penggerak di AS tidak ada. Namun selalu ada kelompok yang dituding dan jadi korban isu rasial, yaitu keturunan China dan bahkan mereka yang sama sekali tidak ada di Indonesia, yaitu Yahudi.

Di sini kita melihat ada kesamaan dari beberapa kelompok penekan yang beberapa waktu ini menguat karena keseragaman kepercayaan dan ide dan juga keinginan "meraih kembali" sesuatu yang primordial yang bahkan dulu pun tak pernah berkuasa di Indonesia, misalnya ide khilafah. Sebagian kelompok bersatu dengan kelompok lainnya karena kepentingan mereka terganggu dan mungkin ada keuntungan ekonomi yang hilang jika tidak melakukan perlawanan.

Kembali ke laporan Data & Society yang telah disebutkan sebelumnya, kita bisa memetakan siapa saja yang menjadi pelaku manipulasi media dan disinformasi online. 



1. Trolls Internet

Pada prinsipnya berdasarkan sebuah penelitian, setiap pengguna internet punya kesempatan atau peluang menjadi trolls. Oleh karena itu siapa saja bisa menjadi troll dan ini membuat jumlahnya sangat banyak.

Troll internet diartikan sebagai mereka yang dengan sengaja memancing orang untuk mendapatkan respons emosional. Contoh troll bisa dilihat sebagai berikut:



Kata-kata yang dikeluarkan ini memang disengaja untuk memantik emosi, baik orang yang dituduhnya maupun mereka yang cukup waras dan membaca tweet tersebut. Troll seperti ini sangat banyak jumlahnya dan tentu tidak hanya ada di satu kubu. Kubu lain yang berlawanan juga memiliki troll mereka sendiri, namun lebih jarang menimbulkan kehebohan. 

Troll sangat berperan dalam melakukan manipulasi dan disinformasi. Contoh berikut bisa dijadikan bukti. 

Disinformasi ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa orang yang dituduh tidak "cukup pintar" untuk jadi presiden. Padahal ia sebenarnya tidak tahu betul apakah orang yang dituduh tidak bisa bahasa Inggris dan mendasarkan tuduhannya hanya berdasarkan perkiraan semata. Nantinya hal ini akan viral dan akan menambah kekuatan troll lainnya dalam melakukan trolling sebab hampir tidak ada gunanya hal seperti ini dibantah.

Secara umum Troll ini memiliki beberapa ciri penting, yaitu sebagai berikut:

1. Penggunaan kata-kata atau kalimat yang sengaja menyerang.
2. Antipati terhadap media mainstream.
3. Keinginan kuat untuk menimbulkan dampak emosi pada target.
4. Ambiguitas, sering tidak bisa dibedakan apakah mereka serius dengan tuduhan tertentu atau mungkin bercanda atau tidak memiliki maksud tertentu. Contoh nyata adalah trolls yang mempermasalahkan bahasa Inggris Presiden karena ia pun tak begitu pintar berbahasa Inggris karena banyak kesalahan.

Kita sering melihat di media sosial seperti Facebook atau Twitter seseorang atau kelompok tertentu meragukan media mainstream dan menganggap suatu media mainstream tertentu berada di belakang orang yang mereka serang. Troll umumnya melakukan hal ini. Menuduh media mainstream seperti Kompas merupakan agen atau memihak pemerintah.



2. Hate Groups dan Idiologues

Alt-Right sesungguhnya berada di kelompok ini. Ada cukup banyak kelompok yang ada di Hate groups dan Idiologues ini, namun untuk Indonesia mungkin tak sebanyak yang ada di AS. Misalnya pick up artist, manosphere (blog atau forum yang membahas maskulinitas) atau Men’s Rights Movement (MRM) mungkin tidak bisa kita temukan secara jelas di internet Indonesia. Namun demikian ide-ide mereka tentang kejantanan, kegagahperwiraan (dilambangkan dengan pemujaan ke Nazi) antipemimpin perempuan bukanlah isu baru di internet Indonesia.

Kita melihat mereka yang memuja keperwiraan ini sangat banyak. Mereka yang antipemimpin perempuan dan ingin segala sesuatunya dikuasai laki-laki cukup banyak tampil di politik Indonesia dan membawa isu tersebut ke internet.

Hate groups dan idiologues ini diwakili oleh kelompok tertentu yang bergerak berdasarkan idiologi tertentu dan mungkin juga kepercayaan atau faith. Kelompok ini cukup berperan dalam melakukan manipulasi media dan disinformasi. Di sini pun sebenarnya juga berkumpul para trolls.

Ada beberapa ciri dari kelompok tersebut:

1. Kultus tradisi yang mengidealkan masa lalu primordial (misalnya mengkultuskan pemimpin lain yang dianggap merupakan representasi masa lalu, misalnya ketertarikan terhadap Erdogan)
2. Takut akan perbedaan, apakah perbedaan itu bersifat seksual, gender, agama, atau rasial. Perbedaan agama dan suku misalnya merupakan isu yang selalu dihembuskan, terutama terkait penguasaan ekonomi. Agama dan suku minoritas selalu dituduh lebih menguasai dibandingkan yang mayoritas padahal kenyataannya tidak demikian adanya.
3. Keyakinan akan peperangan permanen dan perlunya aksi yang sesuai untuk melawannya.



3. Para Pembuat Teori Konspirasi

Berbagai media tersedia untuk berekpresi di internet. Mulai dari hanya suara, video, blog, dan media sosial. Oleh karena tersedia banyak media, mereka yang ingin membuat teori konspirasi merasa memiliki kesempatan untuk membuat dan mengampanyekan teori konspirasi.

Berbagai blog dan situs di internet Indonesia bisa dimasukkan ke dalam pembuat teori konspirasi ini. Demikian juga mereka yang bergerak dalam menyebarkan hoax seperti grup Saracen dan MCA. MCA misalnya membuat teori konspirasi bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia yang disebar melalui pesan WhatsApp. Demikian pula penyerangan ulama atau kyai oleh orang gila yang dituduh merupakan bagian dari bangkitnya PKI.

Berbagai situs dan blog yang tak jelas asal-usulnya sering dinisbatkan sebagai sumber artikel tertentu. Konspirasi terbaru misalnya tentang dana CSR sebuah BUMN yang dipelintir. Seolah-olah ada konspirasi bahwa dana CSR BUMN tersebut lebih diarahkan kepada agama minoritas tertentu. Padahal tidak ada yang salah dengan dana CSR tersebut asal dana tersebut memang ditujukan untuk tanggung jawab sosial perusahaan.

Beberapa waktu terakhir sejak pemilu 2014 yang lalu, situs atau blog teori konspirasi ini berkembang subur di Indonesia. Jika diblokir, tidak butuh waktu lama, mereka akan membuat lagi yang baru. Teori konspirasi yang dimunculkan lebih bertendensi untuk menyulut ketegangan SARA.

Di AS, teori konspirasi yang lebih baru berfokus pada alternatif peristiwa tertentu, seperti serangan teroris 9/11 dan dan penembakan di sekolah Sandy
Hook. Tema-tema menyeluruh dari teori-teori ini tetap sangat konsisten, yaitu mereka secara andal mengekspresikan kecemasan tentang hilangnya kontrol

dalam suatu tatanan agama, politik, atau sosial.

Di Indonesia, teori konspirasi yang lebih baru adalah tentang bubarnya negara Indonesia pada tahun 2030 nanti. Teori ini berbasis sebuah novel berjudul Ghost Fleet yang kemudian dikutip oleh seseorang yang memiliki kekuatan politik dalam upaya menimbulkan ketakutan tentang hilangnya tidak hanya tatanan agama, politik dan sosial, tetapi negara sekaligus. 

Teori konspirasi yang sudah lama berkembang dan belakangan kembali marak adalah tenaga kerja asing, terutama yang berasal dari China. Para trolls, hate group dan mereka yang ingin memanfaatkan isu tersebut berkelindan satu suara tentang adanya kekhawatiran bahwa tenaga kerja asing tersebut akan menguasai atau bahkan mengalahkan tenaga kerja lokal. Padahal jika melihat data jumlah tenaga kerja asing tersebut sangatlah sedikit.



4. Para Influencer 

Sejumlah troll, gamers, ideolog, dan pelaku konspirasi online terkemuka
memiliki pengaruh besar di antara aktor-aktor lain dan memainkan peran yang berbeda dalam upaya manipulasi media. Sebagai simpul penting dalam jaringan ini, mereka memegang kekuasaan untuk memperkuat pesan tertentu dan membuat keyakinan pinggiran menjadi keyakinan mainstream. Mereka ini disebut influencer karena memiliki pengaruh dan kekuatan untuk memanipulasi media, mendistorsi informasi agar sesuai dengan keinginan mereka atau kelompok mereka.

Beberapa tokoh di Twitter yang sering melakukan tweet tentang masalah tenaga kerja asing, superioritas muslim yang tergerus dan berbagai hal yang lainnya yang mengkritisi segala sesuatu kebijakan dengan memanfaatkan nama dan jumlah follower yang banyak untuk memanipulasi dan melakukan disinformasi.

Tokoh-tokoh lain yang sering melakukan debat di Twitter, pada awalnya merupakan trolls yang berkeinginan memantik emosi, namun karena terus terkenal dan adanya kekuatan kelompok yang setuju dengan nyinyiran tokoh tersebut menjadi influencer penting yang mampu memanipulasi media dan melakukan disinformasi.



5. Politisi

Politisi memainkan peran penting dalam melakukan manipulasi media dan disinformasi. Oleh karena politisi memiliki kepentingan terhadap keterpilihan dan biasanya pernyataan mereka selalu dikutip, mereka seringkali memanfaatkan hal ini agar sesuai dengan agenda pribadi.

Dari uraian di atas, ternyata cukup banyak pelaku yang melakukan manipulasi media. Tentu saja pelaku ini tidak hanya ada di satu pihak. Dalam suatu isu, selalu ada minimal dua pihak yang saling berseberangan. Mereka bisa saja saling menggunakan troll masing-masing, politisi atau siapapun yang bisa menguntungkan.

Satu hal yang patut dijadikan pegangan adalah bahwa manipulasi media dan disinformasi ini memang sengaja dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Oleh karena itu penting kiranya bagi siapa saja yang masih waras untuk tidak ikut serta dalam kegiatan ini.

Comments

Popular posts from this blog

Bisnis Jual-Beli Organ Tubuh Manusia

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium