Berkelahi dengan Narasi Kebencian di Media Sosial

Stop Kampanye Kebencian
Si A: Ini sesuatu yang sulit mas. Saya takut diserang banyak akun.
Si B: Saya lebih memilih mendalami hobi, apalagi ini tak ada duitnya.
Si C: Saya tak tertarik, di media sosial hanya iseng.

Bila Anda sering mengajak orang lain untuk ikut berkampanye hal positif di internet, jawaban-jawaban seperti tersebut di atas bukanlah sebuah kejutan. Banyak pengguna media sosial yang cenderung tidak mau tahu, tidak mau urus situasi berinteraksi di media sosial saat ini yang cenderung kejam, menjadi tempat bullying kelompok, memuntahkan berita palsu, fitnah, ancaman dan banyak hal negatif lainnya.

Situasi interaksi di media sosial di Indonesia saat ini bisa dikatakan gawat. Sejak pertengahan tahun lalu atau sejak dimulainya Kampanye Pilkada DKI, situasi media sosial di Indonesia memanas. Sampai sekarang, setelah selesai Pilkada tersebut dan kelompok yang satu berhasil memenjarakan seseorang yang mereka sangka penista, situasi tersebut tidak jauh berubah. Banyak yang beranggapan si penista setali tiga uang dengan rezim sehingga mereka tak akan puas hingga rezim ini juga bertekuk lutut.

Situasi media sosial yang panas ini dibawa ke kehidupan sehari-hari atau bisa juga sebaliknya. Kondisi yang tidak kondusif di kehidupan sehari-hari ditampilkan di media sosial. Contoh paling nyata adalah spanduk tidak mau menyalatkan orang lain yang memilih calon gubernur yang bukan mereka usung. Klaim ini sangat berbahaya, memecah-belah dan semakin membuat panas media sosial.

Sampai sekarangpun di kehidupan sehari-hari efek negatif dari pertarungan di pilkada DKI ini masih terasa. Dalam sebuah Focus Group Discussion yang saya ikuti beberapa hari yang lalu, sumber bercerita bagaimana mereka yang dari kelompok agama berbeda terkejut dengan kasus yang menimpa Ahok.

Mereka ini masih gelisah dan tidak berani membicarakan kegelisahannya. Sumber bercerita bagaimana khutbah di lingkungannya masih terus membawa isu-isu kebencian. Hal yang sama juga terjadi di media sosial. Hal tersebut membuat ruang sosial mereka menjadi terbatas, mereka takut berbuat salah sehingga membatasi aktivitas terlihat di publik atau paling tidak di sekitar tempat tinggal.

Mereka cenderung tidak tahu harus berbuat apa dan merasa pemerintah tak cukup melindungi ekspresi keagamaan mereka. Salah seorang yang bercerita kepada sumber mengatakan bahwa ia tidak membolehkan anaknya ikut peringatan Hari Kemerdekaan, sesuatu yang diakuinya sebuah kesalahan. Namun ia tidak punya banyak pilihan karena berada dalam kondisi yang membingungkan.

Separah itu? Mungkin ini kasuistis. Namun kondisi seperti ini bukanlah rekaan. Narasi kebencian yang terus digembar-gemborkan di media sosial dan di kehidupan sehari-hari telah membuat jurang dalam interaksi di media sosial dan kehidupan sehari-hari. Jika ini terus dibiarkan tanpa ada yang mau berkelahi untuk memeranginya, Indonesia yang majemuk dan beragam ini bisa saja tamat dalam waktu dekat.

Terus berkembangnya narasi kebencian ini disebabkan juga oleh perlawanan yang hampir tidak ada dan saling mengandalkan dari kelompok antikebencian. Mereka yang WARAS ini cenderung tidak mau tahu dan lebih memilih untuk diam, tidak mau repot dan mentalnya kurang kuat dibandingkan dengan kelompok pronarasi kebencian. Perlawanan tetap ada, namun cenderung sendiri-sendiri, tidak memiliki tokoh yang cukup capable untuk fight dan kalah dari segi mesin pencari dan kenampakan di media sosial.

Dalam FGD yang saya ikuti kemarin terlihat meskipun kondisi narasi antikebencian, antiektremis, antikekerasan sudah mulai diperhitungkan namun masih kalah jauh. Dalam peringkat situs Islam terpopuler, hanya NU Online yang berada di 10 besar yang membawa pesan-pesan perdamaian, keberagaman, mengedepankan Islam yang damai. Selain NU Online, hampir semua situs Islam terpopuler merupakan (setidaknya) pengusung Islam Puritan, terkadang penganjur kekerasan dalam tingkat gawat atau kurang dari itu. 


Peringkat popularitas situs Islam
Ada beberapa alasan mengapa situs pengusung pesan perdamaian dan keberagaman tersebut jauh tertinggal daripada situs yang cenderung konservatif atau kampanye kebencian. Pertama adalah kecenderungan pengguna yang ingin mendalami Islam dengan berbasiskan artikel-artikel keislaman praktis, terutama terkait dengan fiqih, aqidah. Konten seperti ini jarang bahkan mungkin sangat sulit ditemukan di situs seperti NU Online, Islami Co, Aswaja atau lainnya. 

Artikel keislaman praktis, yang to the point ini banyak menghiasi laman situs Islam konservatif dan menjadi pendulang traffic yang sangat tinggi. Dalam FGD ini ditemukan salah satu situs Islam yang hanya bersandar kepada mesin pencari Google untuk traffic-nya dan traffic tersebut ternyata sangat tinggi.

Situs pengusung perdamaian ini cenderung memiliki konten yang lebih advanced dibandingkan situs Islam konservatif. Tema seperti Islam dan Demokrasi, Islam dan Kemanusiaan dan sejenisya akan mudah ditemukan di sana. Sayangnya bukan itu yang ingin dicari atau dibaca pengguna. 

Di media sosial pengusung tema antikebencian juga jauh tertinggal. Mereka biasanya cenderung tidak cukup kuat mental untuk berkelahi melawan serangan akun-akun yang sengaja dibuat untuk menyerang orang-orang yang membawa pesan tersebut. Selain itu, tidak ada yang benar-benar meniatkan kegiatannya untuk berkelahi memerangi konten kebencian di media sosial. Kalaupun ada, perlawanan tersebut tersebut on the spot, tanpa satu disiplin yang kuat dan mengandalkan orang lain untuk melakukannya. "Ah, itu bukan urusan saya", tampaknya mendominasi.

Fenomena lain yang sering kita lihat di media sosial dan internet umumnya adalah silent majority. Sebagian besar pengguna mengetahui bahwa konten kebencian berbasis SARA merupakan sesuatu yang salah, hoax yang beredar juga salah. Namun dengan berbagai alasan mereka tidak mau melakukan sedikit aksi untuk membantu memperbaiki kondisi tersebut. Ada banyak alasan untuk menjadi silent majority ini, tentunya.

Faktor lain yang membuat suburnya narasi kebencian di media sosial adalah faktor layanan itu sendiri. Layanan seperti Twitter dan Facebook dan juga Google (YouTube) tidak cukup berusaha maksimal untuk menangkal konten seperti ini. Twitter misalnya merupakan tempat narasi kebencian yang cukup gawat. Hampir tidak ada tindakan Twitter yang bisa disebut signifikan untuk memberantas para penyebar kebencian ini.

Tentunya masih banyak hal yang membuat lebih suburnya narasi kebencian ini dibandingkan dengan usaha untuk melawannya. Namun tentu bagi mereka yang waras, upaya melawan narasi kebencian, kekerasan dan antikebergaman ini tidaklah tamat.

Cukup banyak usaha yang telah dan sedang digarap untuk mengampanyekan perdamaian, keberagaman, saling menghargai sesama pemeluk agama dan upaya untuk tidak saling menghadap-hadapkan satu sama lain dengan alasan berbasis agama. Namun usaha ini perlu keterlibatan banyak pihak.

Hal yang menarik adalah bahwa usaha perlawanan narasi kebencian ini sangat kentara dilakukan oleh mereka yang berada atau terkait dengan NU. NU tidak diragukan lagi merupakan wadah yang sangat mendorong pesan-pesan damai untuk pemeluk agama. Sementara organisasi Islam seperti Muhammadiyah, bukan tidak ikut serta, tetapi usaha Muhammadiyah tidak sebesar atau mungkin ada tetapi tidak seterlihat usaha NU. Muhammadiyah cenderung tidak banyak melakukan tindakan untuk melawan narasi kebencian ini. Entah mengapa.

Untuk itu, Muhammadiyah harus lebih giat lagi mendorong pesan perdamaian ini. Mereka harus bisa bekerja sama dengan NU untuk bersinergi demi interaksi damai di media sosial dan internet.

Usaha lain yang layak dijalankan adalah diversifikasi konten situs-situs Islam pembawa perdamaian. Mereka harus mampu memberikan konten yang disuka pengguna terkait how to atau ibadah praktis sehari-hari agar bisa bersaing di mesin pencari.

Konten-konten baru yang segar seperti video satu menit atau tiga puluh detik yang membawa pesan keberagaman, perdamaian juga perlu diperbanyak agar bisa menarik anak muda yang kini menjadi bagian besar dari pengguna internet agar bisa menjauhi konten bertema kebencian.

Dari segi pemilik layanan, program trusted flagger di YouTube bisa menjadi solusi penting agar konten bertema kebencian bisa disaring terlebih dahulu. Semoga pihak yang ditunjuk untuk menjadi trusted flagger bisa menghasilkan sesuatu yang bagus sehingga bisa dipertimbangkan Google untuk dihapus.

Layanan lain seperti Facebook dan Twitter harus menggiatkan usahanya untuk memerangi hoax, hate speech dan peredaran konten negatif lainnya. Di Twitter misalnya, jika akun melanggar sudah seharusnya dihapus dan tidak bisa mendaftar lagi dengan mudah seperti sekarang ini. Di Facebook hal serupa juga harus jadi pertimbangan agar pengguna tidak mengonsumsi berita hoax yang biasany bermuatan isu SARA.

Di sisi hukum, tentu saja ada kewenangan blokir dan penangkapan. Sudah seharusnya Polri menangkap tokoh-tokoh atau leader yang mengusung isu kebencian berbasis SARA. Jika kelompok Saracen bisa diringkus, semestinya tidak ada alasan tidak bisa meringkus pelaku individu yang menggelontorkan isu-isu kebencian berbasis SARA.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya

Bisnis Jual-Beli Organ Tubuh Manusia

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium