Menelisik Potensi Radikalisme Rohis

Potensi Radikalisme Aktivis Rohis
Radikalisme bukan hoax. Bila ada yang menganggap hoax mungkin belum mau mengakui gejala kecenderungan radikalisme terutama yang dipertontonkan di media sosial di Indonesia. 

Nah bila di media sosial atau internet kita melihat potensi radikalisme ini bagaimana dengan yang lebih spesifik seperti di kalangan anak sekolah menengah umum terutama mereka yang aktif di kegiatan Rohanis Islam atau Rohis?

Sejenak kembali ke belakang, Rohis bukanlah organisasi kemarin sore. Organisasi ini bisa dikatakan organisasi ekstrakurikuler permanen di setiap sekolah menengah. Tujuannya tentu saja sesuai dengan namanya, yaitu mendalami agama Islam. Menurut sebuah makalah penelitian (Hayadin, Pusat Penelitian Pendidikan dan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kemenag RI)  Rohis menjawab kegelisahan orang tua di perkotaan dan Rohis merupakan bagian dari model gerakan Islam di Indonesia. Kehadiran Rohis di sekolah umum memberikan manfaat yang besar dalam membentuk sikap dan perilaku keagamaan serta membangun keimanan dan ketaqwaan siswa.

Namun demikian keberadaan Rohis bukan tanpa efek negatif. Menurut Sidney Jones, aktivitas keislaman (taklim) sekolah merupakan lahan lahirnya benih terorisme. Kegiatan di lembaga Rohis bisa menjadi pintu masuk virus terorisme karena itu pemerintah harus mengawasi jaringan terorisme masuk ke wilayah SMP dan SMA melalui kegiatan di lembaga tersebut.

Kekhawatiran yang diungkapkan oleh Sidney Jones ini menjadi kenyataan ketika terungkapnya fakta, bahwa mantan pengurus dan aktivis Rohis salah satu sekolah menengah kejuruan terlibat aksi terorisme, tertangkap oleh Densus Anti Teror-88, pada tahun 2011. Enam di antara tujuh pelaku yang ditangkap tersebut berasal dari sekolah menengah kejuruan tersebut. Di antara enam orang tersebut, tiga orang masih berstatus pelajar dan tiga lainnya adalah alumninya.

Fakta ini merupakan fakta sekitar enam tahun yang lalu. Pertanyaannya bagaimana kondisinya saat ini?

Setahun yang lalu Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama dan Wahid Foundation meneliti potensi radikalisme di kalangan aktivis Rohani Islam (Rohis) dengan menyebarkan angket sebanyak 1.626 angket kepada aktivis Rohis di sekolah menengah umum Jabodetabek dan luar Jabodetabek.

Hasil penelitian ini dipublikasikan oleh Majalah Berita Mingguan Tempo 25 Juni 2017 dan di-tweet-kan oleh Iman Brotoseno kemarin. 

Dari publikasi Tempo memang agak terkesan ada cherry picking karena hanya menampilkan sesuatu kekhawatiran yang besar (untuk menarik lebih banyak pembaca). Namun intinya bukan hal tersebut karena bila kita lihat data yang ada, kesan menjalarnya potensi radikalisme di Rohis terlihat nyata. 

Sebagaimana kita ketahui radikalisme agama Islam memiliki dua ciri sebagaimana dicantumkan di hasil penelitian tersebut. Pertama Islam harus diimplementansikan penuh dan literal sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran dan Hadist tanpa kompromi. Biasanya hal ini terkait dengan isu-isu relasi sosial, ketaatan dan hukum pidana. Kedua, biasanya bersikap reaktif, baik melalui bahasa, ide maupun kekerasan fisik terhadap masalah-masalah yang dianggap menyimpang, materialistik dan sekularistik yang merusak keyakinan umat Islam.

Sebelum lebih jauh melangkah ada hal yang patut kita perhatikan, yaitu pengaruh internet dan media sosial terhadap Rohis tersebut. Sebagian besar informasi masalah-masalah keagamaan tidak diperoleh melalui internet atau media sosial, melainkan melalui pengajian (28%), sekolah (12%), Uztad (11%), Orangtua (9%). Buku atau kitab hanya 4%, ceramah di TV 5%, grup diskusi di media sosial 6%, serta Twitter, Facebook, dan YouTube masing-masing hanya 0,1%, 3% dan 2%.

Di sini kita melihat pentingnya peran tatap muka melalui pengajian yang memang merupakan kegiatan rutin Rohis. Responden yang mengaku aktif mengikuti pengajian sebanyak 82% (Rutin 49% dan Cukup Sering 33%). Pemateri utama dalam pengajian ini adalah Guru Agama mereka sendiri (50%), Alumni (14%), kakak kelas 7%. Jika akumulasikan ketiga pemateri ini mencapai 71% sehingga kesan bahwa Rohis dipersiapkan oleh sekolah secara internal menguat karena sedikitnya peran pihak luar. Itu artinya jika memang ada radikalisme, radikalisme ini cenderung ditumbuhkan oleh sekolah atau mereka yang terkait dengan sekolah itu sendiri.

Selain itu, buku atau kitab bukan merupakan sumber pengetahuan yang penting bagi Rohis terkait informasi keagamaan demikian juga internet pada umumnya. Saya rasa di zaman kemajuan internet seperti sekarang ini agak sulit untuk menolak internet atau media sosial sebagai sumber informasi keagamaan. Namun buktinya hal ini tidak terjadi pada Rohis sehingga peran internet menjadi minimal dalam membentuk radikalisme mereka.

Selanjutnya yang perlu kita lihat adalah materi pengajian tersebut. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa rata-rata di atas 20% responden mengakui (sangat sering dan sering) mendengar materi dan pendapat dalam pengajian yang cenderung radikal. Pengajian yang cenderung radikal ini meliputi:
a. Kebencian umat agama lain terhadap Islam,
b. Perlawanan bahkan perang terhadap umat lain atau terhadap pemerintah yang memusuhi atau mengancam umat Islam,
c. Perang pemikiran untuk meracuni kita dengan berbagai pemikiran yang menyimpang,
d. Agama/keyakinan merupakan pertimbangan utama dalam memilih teman.

Bila di-breakdown kesimpulan di atas menunjukkan hal berikut ini.

Materi pengajian Rohis
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa ciri radikalisme Islam pertama terkait dengan isu-isu relasi sosial, ketaatan dan hukum pidana. Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut.

Relasi Sosial

Bila kita lihat, ternyata di relasi sosial ini terlihat bagus. Artinya secara umum, pandangan dan sikap Rohis terkait relasi sosial cenderung terbuka dengan dukungan rata-rata di atas 70%. Namun relasi sosial terlihat sangat rendah pada kesediaan mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain seperti Selamat Hari Raya Natal atau Selamat Hari Raya Nyepi. Sebanyak 1.080 responden atau 66% menolak mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain.

Tentu timbul pertanyaan mengapa hal ini terjadi? Padahal dalam pertanyaan bila ada teman yang berbeda keyakinan sakit, sebanyak 92% mau menjenguk. Saya menduga adanya unsur ketaatan dalam hal ini, terutama terkait adanya fatwa yang melarang mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain. Hal yang sama terlihat pada bentuk ketaatan lain, yaitu larangan berduaan dengan bukan muhrim. Sebanyak 57% (Sangat Setuju) dan 32% setuju laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya harus dilarang untuk berduaan.

Dalam Hukum Pidana terlihat jelas bahwa Rohis lebih memilih menggunakan hukum Islam sebagai panduan. Sebanyak 17% setuju orang murtad dibunuh, sebanyak 62% mendukung orang yang berzina dirajam (dilempari batu hingga meninggal) dan sebanyak 58% mendukung hukuman potong tangan bagi pencuri.

Bila saya simpulkan dari ciri radikalisme yang pertama ini sudah terlihat potensi radikalisme bila melihat beberapa faktor terkait ketaatan dan hukum pidana.

Ciri kedua yang perlu dilihat adalah bersikap reaktif, baik melalui bahasa, ide maupun kekerasan fisik terhadap masalah-masalah yang dianggap menyimpang, materialistik dan sekularistik. Di sini bisa kita lihat sikap terhadap jihad, pengertian jihad itu sendiri dan anggapan terhadap tokoh teroris yang dikatakan mati syahid karena memperjuangkan Islam.

Peta Dukungan terhadap Pelaku
dan Aksi Terorisme
Terkait pengertian jihad sebanyak 33% responden mengartikan jihad adalah berperang dan mengangkat senjata melawan orang kafir serta sebanyak 78% responden mendukung ide kekhalifahan. Angka yang mendukung ide kekhalifahan ini tentulah sebuah kejutan karena mencapai 78%. Saya rasa tanpa melihat sisi lain, besarnya dukungan terhadap ide kekhalifahan ini menunjukkan potensi radikalisme yang besar di dalam tubuh Rohis karena ide kekhalifahan ini bisa menjadi senjata ampuh untuk memengaruhi orang agar mau melakukan tindakan apapun termasuk kekerasan untuk mewujudkannya.

Tentu perlu juga dilihat bahwa banyak juga responden yang tidak setuju dengan tindakan ISIS misalnya atau tidak menganggap Osama Bin Laden, Amrozi, Imam Samudra, Bahrun Naim, dan Abdurrahman sebagai representasi muslim yang mempraktikkan jihad sejati. Akan tetapi sebanyak 60% responden siap bergabung untuk berperang saat ini di Suriah, Palestina, dan Poso serta sebanyak 68% siap berperang di masa depan.

Di sini terjadi semacam kebimbangan di aktivis Rohis tersebut. Meskipun sangat sedikit yang mendukung apa yang dilakukan ISIS memiliki tujuan mulia untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam, di sisi lain sebanyak 60% siap berperang  di Suriah yang menjadi medan perang ISIS. 

Dari uraian di atas saya berkesimpulan bahwa Rohis seperti yang dikhawatirkan oleh Sidney Jones memang telah menjadi lahan lahirnya benih terorisme dan kegiatan di lembaga Rohis bisa menjadi pintu masuk virus terorisme. Meskipun di penelitian ini tidak semua temuan mendukung hal tersebut, namun benih terorisme dan potensinya terlihat nyata di penelitian ini, antara lain melalui ketaatan, hukum pidana dan ide kekhalifahan.

Apalagi sebenarnya seperti disampaikan di awal artikel ini sudah ada aktivis Rohis sebuah Sekolah Menengah Kejuruan yang ditangkap Densus 88 di tahun 2011 yang lalu karena terkait aksi terorisme. 

Selebihnya, penelitian ini tentu saja perlu digarisbawahi perlu penelusuran lebih lanjut dan tidak dianggap sebagai satu-satunya sumber klaim terhadap potensi radikalisme di kalangan anak muda khususnya siswa menengah umum setingkat SMA. 

Terakhir, artikel ini bukanlah klaim, melainkan sebuah usaha untuk melihat penyebaran radikalisme di kalangan anak muda. Kita melihat kecenderungan radikal akhir-akhir ini terus meningkat, untuk itu perlu usaha bersama untuk mencari sebab pangkalnya dan solusi cepat agar anak-anak muda Indonesia tidak terjebak virus radikalisme ini. Sudah saatnya kita mengakui bahwa radikalisme ini ada, bukan hoax untuk menyudutkan agama tertentu seperti Islam. 

Artikel ini lebih kepada kekhawatiran bahwa Rohis bisa saja telah disalahgunakan untuk tujuan-tujuan radikal seperti pembentukan khilafah. Untuk itu setiap sekolah, orang tua, departemen pendidikan dan kementerian Agama perlu melihat ulang keberadaan Rohis dan menjauhkan mereka dari ide-ide radikal.

Pembaca dapat melakukan analisis sendiri terhadap penelitian ini dengan mendownload hasil penelitian ini di SINI

Comments

Popular posts from this blog

Di Jalan Surabaya, Berburu CD Bekas Premium

Enny Arrow, Pengarang Stensilan Cabul Masa Lalu

Kisah Tukang Sapu yang Kehilangan Sapunya